Setiap menuju ke pasar dekat rumah, saya selalu melihat seorang kakek tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang juga berjualan disitu. Pedagang disini, umumnya berjualan makanan, buah, minuman, mainan anak, dan barang-barang aksesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun kakek itu tetap menjual amplop.
Mungkin kakek itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat. Kehadiran kakek tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju pasar tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju pasar seolah tidak mempedulikan kehadiran kakek tua itu.
Kemarin ketika hendak ke pasar saya melihat kakek tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai berbelanja, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Sekedar ingin membantu kakek itu melariskan dagangannya. Seusai berbelanja dan hendak kembali ke rumah, saya menghampiri kakek tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkus plastik itu. “Dua ribu”, jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya dua ribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang dua ribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi kakek tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli sepuluh bungkus ya pak.” kata saya.
Kakek itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.
Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat lima ratus rupiah satu. Dengan uang dua ribu mungkin hanya dapat 4 buah amplop. Kakek itu menunjukkan kepada saya lembar kuitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kuitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Kakek hanya ambil sedikit,” lirihnya. Saya sampai terharu mendengar jawaban jujur si kakek tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, kakek tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli makan di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli makan.
Setelah selesai saya bayar Rp20.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju rumah. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih untuk kakek tua itu untuk membeli makan siang. Si kakek tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di whatsapp yang bunyinya begini: “Kakek-kakek tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap….”.
Si kakek tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mall dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka insyaallah lebih banyak barokahnya, karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka. Dalam pandangan saya kakek tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di Masjid Salman, meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi Si kakek tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya tidak seberapa itu.
Di rumah saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari Si kakek tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang dua puluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si kakek tua. Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja belajar. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada suatu hari selanjutnya saya akan melihat Si kakek tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku. Mari kita bersyukur telah diberikan kemampuan dan nikmat yang lebih daripada kakek ini. Tentu saja syukur ini akan jadi sekedar basa-basi bila tanpa tindakan nyata.
nama: Vika Clara
Kelas : 8.9
No : 23
.
BalasHapus