JANGAN MENILAI BUKU DARI SAMPULNYA
Sabtu malam itu udara di Malang sangat dingin. Saya mencari kehangatan dengan berkuliner ria di dekat alun-alun Kota Malang. Tempat yang kami kunjungi tidaklah mewah, hanya di pedagang kaki lima. Meski begitu tempatnya sangat ramai oleh pengunjung.
Banyak juga pengamen dan pengemis yang mengais keberuntungan di tempat tersebut. Saat itu ada pengemis tua renta bersama anak kecil yang sangat kumal dan acak-acakan. Mereka berpindah dari meja satu ke meja lain untuk minta sedikit rejeki. Ketika itu pengemis menghampiri meja suami istri di salah satu meja paling pojok sebelah kiri. Kalau dilihat dari penampilannya suami istri tersebut sangat kaya. Gaya berdandannya sangat kekinian. Tapi apa daya ternyata pengemis tersebut dilihat dengan sinis dan berkata, “Ih, bau apa ini?” kata wanita tersebut, “kita pindah saja ke meja sana, Mas.” Pasangan tersebut pindah ke meja lain sambil mengomel tidak jelas. “Sebenarnya aku tidak senang disini, lihat deh makanannya saja diletakkan di besek, tidak modern sekali orang disini,” kata wanita. Sedangkan suaminya hanya menggelengkan kepalanya. Wanita terusik dengan kehadiran pengemis tersebut yang mengganggu kenyamanannya. Bahkan wanita protes ke pemilik warung agar pengemis tersebut di usir. “Sudah kita yang pulang saja, sepertinya kamu dari tadi tidak senang di sini,” kata suaminya sambil menarik tangan istrinya itu.
Saat itu juga di meja paling belakang ada pemuda gondrong, bertato, dan pakaiannya lusuh. Di mejanya ada sebungkus rokok, kopi, dan seporsi makanan. Pengemis menghampiri meja pemuda tersebut. Sungguh terkejut saya melihatnya karena pengemis dan anaknya dipersilakan duduk di sampingnya. “Terima kasih, Pak,” kata pengemis itu. Pemuda itu memesan pada kasir, “Nasi gorengnya 2 porsi sepaket dengan es tehnya, Mbak,” kata pemuda yang berkaos bola bertuliskan Asep. Begitu makanan datang, pengemis tersebut terkejut tidak menyangka bahwa pemuda itu memesankan makanannya. Mereka memakannya dengan lahap. “Terima kasih, semoga Tuhan memberikan rezeki,” kata ibu pengemis. Mereka terlihat mengucapkan terima kasih berkali-kali sambil mendoakan pemuda tersebut. Setelah itu mereka bersalaman dengan pemuda itu. “Ini ada tambahan rezeki walau tidak seberapa,” kata pemuda itu seraya menyelipkan uang dua puluh ribuan. Sang pengemis pun sangat senang dan menerimanya sambil mendoakan kebaikan pemuda tersebut.
Hari itu saya dapat pelajaran sangat berharga. Saya malu terhadap diri saya sendiri, karena kemuliaan hati saya belum sebesar kemuliaan pemuda tersebut. Kita tidak bisa menilai kebaikan seseorang dengan melihat penampilan fisiknya saja. Kadang seseorang yang terlihat kaya raya ternyata tidak punya empati terhadap kekurangan sesamanya. Justru kadang orang yang terlihat kasar dan serba kekurangan dia malah berhati mulia dan punya empati yang tinggi terhadap orang yang serba kekurangan. Kata kata yang bisa diambil dari cerita dengan narasumber ayah saya diatas adalah, "Jangan selalu menilai orang dari tampangnya."
Oleh:
Naura Valda Prameswari
20 - VIII.9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar