Pendidikan memang menjadi
suatu hal yang penting dalam kehidupan. Pendidikan dianggap menjadi akses utama
dalam menempuh kesuksesan. Perjuangan dalam menempuh pendidikan tak semuanya
berjalan mulus. Ada saja hal-hal yang membebani atau menghambat proses
tersebut. Keterbatasan ekonomi misalnya. Hal itu juga yang dirasakan oleh
seorang Ayah dari tiga orang anak kelahiran tahun 1972 ini. Bapak Bangun Yulianto
namanya. Semasa kecil, perjuangan beliau dalam menempuh jenjang pendidikan bisa
dibilang cukup rumit dan susah.
Beliau adalah anak bungsu dari
enam bersaudara. Berbagi adalah hal yang utama dan yang pasti terjadi dalam
keluarga beliau. Keluarganya berasal dari kelas bawah. Orang tua beliau hanya
bekerja sebagai seorang guru, yang pada masa itu hanya dibayar dengan nominal
yang sangat kecil. Apapun yang mereka lakukan harus dengan system berbagi, baik
makanan, maupun transportasi.
Sarapan adalah hal umum yang
dilakukan setiap orang untuk memulai aktivitas. Namun bagi beliau dulu, sarapan
adalah hal istimewa yang dianugrahkan Tuhan kepadanya. Tak setiap hari ia
mendapatkan jatah untuk sarapan. “Ibu, di mana sarapannya?” tanyanya. Lalu
Ibunya menjawab, “Maaf nak, hari ini Ibu belum mendapat uang untuk membeli
nasi. Yang Ibu punya hanya beberapa potong tapai goreng.” Pernyataan-pernyataan
tersebut yang sering didengar oleh beliau. Sekadar untuk mengganjal lapar dan
menurunkan nafsu makan sehingga tak perlu membeli makan siang.
Sudah dapat dipastikan bahwa
jalur transportasi di desa dulu sangatlah minim. Tidak ada yang namanya jalan
aspal. Yang ada hanyalah jalan berlumpur nan becek serta berbatu-batu itu. Dan
itu yang harus ditempuh oleh beliau setiap harinya. Dengan jarak yang cukup
jauh sekitar 5 km dari rumah, ia pergi bersekolah di pagi-pagi buta. Terkadang
harus jalan kaki, terkadang juga meniki sepeda onthel tua yang dipakai untuk seluruh keluarga. Makanpun maximal hanya 2 kali sehari karena tak memiliki biaya yang cukup.
Saat gurunya memerintahkan
untuk membawa buku, beliau hanya mampu meminjam, tak mampu untuk membeli.
Apalagi jika temannya tak mau meminjamkan, terpaksa beliau harus mengamati
pelajaran dari jendela kelas. “ Permisi, boleh pinjam bukunya satu? Saya dan
teman sebangku saya tak punya buku,” tanya beliau. “Kau ini, sudah sering
meminjam, aku tak mau lagi meminjamimu! Merepotkan saja!” tolak salah satu
temannya. Namun tak sampai di situ, ketika ada penarikan biaya sekolah, ia baru
mampu membayar setelah 6 bulan. Ayahnya harus bekerja keras terlebih dulu.
Ia menempuh tiap jenjang
pendidikannya dengan rumit dan penuh perjuangan. Ayah beliau pernah berkata
sewaktu ia merasa lelah untuk belajar, “Ilmu itu untuk kehidupan. Tanpa ilmu
taka da kesuksesan. Tidak apa-apa jika kita bersusah-susah sekarang. Namun Ayah
yakin bahwa suatu saat nanti semua anak Aya pasti sukses.” Dan itulah yang
menjadi motivasi beliau dalam menuntut ilmu sampai dapat lulus S2 dengan
menggunakan beasiswa.
Pendidikan merupakan kunci
untuk sukses. Dukungan orang lain, motivasi diri, dan kegigihan akan membuahkan
kesuksesan. Jangan pernah menyerah dalam menempuh pendidikan, Jangan acuhkan segala
hambatan dan juga perkataan orang sekitar yang melemahkan tekad kita.
Oleh
: Atya Danastri Masantika VIII.9 /05
Narasumber
: Bapak Ir. Bangun Yulianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar