Daftar Mata Pelajaran

Rabu, 13 Maret 2019

Buku, Tapai, dan Sepeda


Pendidikan memang menjadi suatu hal yang penting dalam kehidupan. Pendidikan dianggap menjadi akses utama dalam menempuh kesuksesan. Perjuangan dalam menempuh pendidikan tak semuanya berjalan mulus. Ada saja hal-hal yang membebani atau menghambat proses tersebut. Keterbatasan ekonomi misalnya. Hal itu juga yang dirasakan oleh seorang Ayah dari tiga orang anak  kelahiran tahun 1972 ini. Bapak Bangun Yulianto namanya. Semasa kecil, perjuangan beliau dalam menempuh jenjang pendidikan bisa dibilang cukup rumit dan susah.
Beliau adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Berbagi adalah hal yang utama dan yang pasti terjadi dalam keluarga beliau. Keluarganya berasal dari kelas bawah. Orang tua beliau hanya bekerja sebagai seorang guru, yang pada masa itu hanya dibayar dengan nominal yang sangat kecil. Apapun yang mereka lakukan harus dengan system berbagi, baik makanan, maupun transportasi.
Sarapan adalah hal umum yang dilakukan setiap orang untuk memulai aktivitas. Namun bagi beliau dulu, sarapan adalah hal istimewa yang dianugrahkan Tuhan kepadanya. Tak setiap hari ia mendapatkan jatah untuk sarapan. “Ibu, di mana sarapannya?” tanyanya. Lalu Ibunya menjawab, “Maaf nak, hari ini Ibu belum mendapat uang untuk membeli nasi. Yang Ibu punya hanya beberapa potong tapai goreng.” Pernyataan-pernyataan tersebut yang sering didengar oleh beliau. Sekadar untuk mengganjal lapar dan menurunkan nafsu makan sehingga tak perlu membeli makan siang.
Sudah dapat dipastikan bahwa jalur transportasi di desa dulu sangatlah minim. Tidak ada yang namanya jalan aspal. Yang ada hanyalah jalan berlumpur nan becek serta berbatu-batu itu. Dan itu yang harus ditempuh oleh beliau setiap harinya. Dengan jarak yang cukup jauh sekitar 5 km dari rumah, ia pergi bersekolah di pagi-pagi buta. Terkadang harus jalan kaki, terkadang juga meniki sepeda onthel tua yang dipakai untuk seluruh keluarga. Makanpun maximal hanya 2 kali sehari  karena tak memiliki biaya yang cukup.
Saat gurunya memerintahkan untuk membawa buku, beliau hanya mampu meminjam, tak mampu untuk membeli. Apalagi jika temannya tak mau meminjamkan, terpaksa beliau harus mengamati pelajaran dari jendela kelas. “ Permisi, boleh pinjam bukunya satu? Saya dan teman sebangku saya tak punya buku,” tanya beliau. “Kau ini, sudah sering meminjam, aku tak mau lagi meminjamimu! Merepotkan saja!” tolak salah satu temannya. Namun tak sampai di situ, ketika ada penarikan biaya sekolah, ia baru mampu membayar setelah 6 bulan. Ayahnya harus bekerja keras terlebih dulu.
Ia menempuh tiap jenjang pendidikannya dengan rumit dan penuh perjuangan. Ayah beliau pernah berkata sewaktu ia merasa lelah untuk belajar, “Ilmu itu untuk kehidupan. Tanpa ilmu taka da kesuksesan. Tidak apa-apa jika kita bersusah-susah sekarang. Namun Ayah yakin bahwa suatu saat nanti semua anak Aya pasti sukses.” Dan itulah yang menjadi motivasi beliau dalam menuntut ilmu sampai dapat lulus S2 dengan menggunakan beasiswa.
Pendidikan merupakan kunci untuk sukses. Dukungan orang lain, motivasi diri, dan kegigihan akan membuahkan kesuksesan. Jangan pernah menyerah dalam menempuh pendidikan, Jangan acuhkan segala hambatan dan juga perkataan orang sekitar yang melemahkan tekad kita.

Oleh : Atya Danastri Masantika VIII.9 /05
Narasumber : Bapak  Ir. Bangun Yulianto


Tidak ada komentar:

Posting Komentar