Belanda , January 1990
Namanya Albart Van Helen. Sesuai namanya, Albart yang berarti bersinar, kepopulerannya sebagai seorang psikolog sudah tersohor di negeri seribu kincir angin itu. Seluruh masa mudanya lenyap ditelan oleh bukit buku dan juga para pasien yang sering menggunakan jasanya untuk terapi . Ingat, hanya sekedar konseling bukan menangani manusia yang gila atau perilakunya tak terduga itu! Kecuali jika ia sedang teringat akan mendiang Ibunya. Tak tanggung – tanggung, tahun ini Albart telah resmi menyandang gelar Psy.D setelah menyelesaikan kuliah S3 nya di Radboud University selama 2 tahun. Otak seorang Albart memang tidak diragukan lagi.
Van Albart‘s thuisbegeleiding, Rotterdam, December 1990
Ruang serba putih bersih tanpa corak, berbagai grafik dan sebuah foto besar bergambar wanita yang sedang tersenyum terpampang di dindingnya. Seorang psikolog berjas putih, berambut coklat kemerahan duduk tanpa ekspresi sambil memainkan liontin kalungnya yang sangat berharga . Name tag yang digunakannya bertuliskan Albart Van Helen Psy.D. Pandangannya lurus tajam menatap grafik yang terpampang. Tiba-tiba seonggok perangkat elektronik kecil yang biasa orang sebut Smartphone itu berdering.
“ Goedemorgen Dr, Violette. Ada apa pagi-pagi begini anda menghubungi saya? “ Tanya Albart tanpa basi-basi. Ya, begitulah sifatnya.
“ Goedemorgen Dr.Albart. Begini, ada seorang pasien pendatang menderita Skizofrenia kronis. Ia tak mampu lagi berkomunikasi dengan kami, bahkan Dr.John pun sudah angkat tangan. Maka dari itu, kami minta bantuan anda untuk menanganinya. Bagaimana Dr. Albart? “ Tanya Dr. Violette lewat telepon.
“ Ck. Baiklah aku akan ke sana kirim saja alamat rumah sakit jiwamu itu ke nomorku! “ titah Albart sembari mematikan sambungan teleponnya.
Sungguh jika bukan karna pesan mendiang Ibunya dulu, ia tak akan sudi untuk mengurusi manusia gila itu!
Sebelum berangkat ia mengecup liontin kalung yang berisi abu mendiang Ibunya.
“ Ik hou van je moeder, “ ucapnya lirih sebelum ia mengendarai mobilnya menuju ke tempat yang
baginya sangat tak menggairahkan itu.
Johannes psychiatrisch ziekenhuis, Amsterdam
Hanya perlu sekitar 30 menit untuk Albert pergi ke tempat itu. Saat ini ia sedang amat sangat
memicingkan matanya melihat sekitar. Ia sungguh berusaha untuk menghindari mereka yang
berbicara dan begerak dibawah sadar. Sungguh jika boleh Albart ingin lari saja dari tempat ini.
Namun yang namanya Albart akan terus berusaha mempertahankan gelar dan popularitasnya yang
baginya penting itu. Ia pun terus menatap tak suka pada sekelilingnya seolah ada rasa terpendam.
“ Ck.Apa-apaan mereka tadi, berbicara pun tak jelas, bagaimana bisa Dr. Violette mau bekerja di
tempat macam ini. Sungguh tak habis pikir! “ Geram Albart.
Sesampainya di kantor Dr. Violette , Albart disambut hangat oleh Dr. Violette langsung.
“ Welkom bij Dr. Albart. Saya tau anda tak suka berbasa-basi. Mari kita mulai saja pembicaraannya.“
ucap Dr.Violette yang hanya ditanggapi oleh dengusan DR. Albart.
“ Namanya Vincent Andrew. Lahir di Glethroon 15 Agustus 1960. Umur 30 tahun. Keluarganya
sudah tidak diketahui keberadaannya. Ditemukan di pinggiran jalan Rotterdam. Kondisinya saat ini
sedang mengalami Skizofrenia kronis. Dan setelah dianalisa lebih lanjut, kemungkinan korban
sebelumnya mengalami Post Traumatic Stress Disorder dalam kurun waktu yang lama. Namun,
karena tak segera ditangani, kondisinya menjadi kronis seperti sekarang. Andrew sering berbicara
sendiri sambil menangis dan meminta maaf tak jelas , “ jelas Dr. Violette menceritakkan hasil
pemeriksaanya secara detail.
Albart terdiam sementara untuk mencerna apa yang dikatakan Dr.Violette.
Kemudian Albart menyahut, “ Untuk kasus yang seperti ini memang sulit untuk menemukan
penyebabnya secara pasti. Namun dari tingkah lakunya, kita masih dapat menduga-duga.
Yang terpenting lakukan terapi remediasi kognitif untuk membantunya mengingat dan menceritakan
apa yang terjadi sebelumnya!Untuk kali ini, saya yang akan menangani Andrew menjalani terapi.”
Dr. Violette pun mengantar Albart untuk menemui Andrew di ruang isolasi. Terlihat seorang memakai
baju khas panti kejiwaan meringkuk di pojok kamar itu. Sudah dapat dipastikan itu adalah Andrew.
Kondisinya benar bersih dari luar. Namun tak ada yang tau bagaimana keadaan jiwanya yang
sebenarnya. Bahkan seorang psikolog seperti Albart dan Violette pun hanya menduga-duga saja.
Albart mendekat perlahan sambil bergumam pelan, “ Andrew come here please. Mari berbicara
denganku. “
Andrew menoleh dan tiba tiba berteriak meminta maaf seperti orang kesetana.
Albart hanya melihatnya tanpa ekspresi kemudian memberi isyarat kepada Dr. Violette untuk segera
keluar dari ruangan itu.
“ Dr. Violette melihat kondisinya yang seperti itu, saya sebagai seorang psikolog bukan sebagai
seorang Albart memutuskan untuk merawatnya secara intensif di gedung konseling saya sendiri .
Karena untuk kondisi seperti itu, saya ragu dia akan mendapat perawatan yang memadai
di sini, “ jelas Albart.
Dr. Violette terdiam untuk berpikirselama beberapa saat. Terlihat raut wajah khawatir yang
tercetak jelas di wajahnya.
“ Saya tau apa yang anda khawatirkan Dr. Violette. Tapi tenang saja, kali ini saya berjanji
akan merawatnya demi mendiang Ibu saya dan juga demi sumpah seorang psikolog sejati.
Segera siapkan kebutuhannya! Saya akan membawanya saat ini juga! “ perintah Albart.
Dr.Violette mau tak mau harus setuju dengan apa yang dikatakan Albart. Ia segera menyuruh
bawahannya untuk mempersiapkan segala kebutuhan Andrew. Setelahnya, Andrew yang sedang
tertidur pulas diangkut ke dalam mobil mewah milik Albart. Setelah memohon izin untuk kembali,
Albart melajukan mobilnya dengan cepat.
Rotterdam’s Market, February 1980
Di siang yang terik tanpa awan berkumpul bersama, seorangwanita tua berpakaian psikolog
bernama Mrs.Van Alice sedang berbelanja daging potong di pasar untuk makan malam nanti.
Sedangkan anaknya menunggu beliau di dalam mobil dekat situ.
“ Excuse me Mr, can I have some meat please ? “ ucapnya sopan.
“ Okay,please wait for a while Mrs, “ ucap si penjual.
Selagi sang penjual memotong dagingnya, terdengar cuitan nakal dari penjual yang sebelah.
“ Oh My God. Apa yang sedang Ibu lakukan? Lebih baik anda membeli danging di toko saya.
Dia itu penderita bipolar disorder. Kalu dia sedang tidak ingin berjualan, ia bisa menaruh racun
di daging yang dijualnya itu! “ hina sang penjual daging dari toko sebelah sambil menunjuk orangnya.
Penjual yang yang mendengarnya langsung naik darah. Ia ingin memukul si penjual, namun tanpa
sengaja, pisau yang dipegangnya terhempas dan tepat menusuk di jantung Mrs. Alice.
Dan tepat saat itu juga anak dari Mrs. Alice turun ingin menghampiri Ibu kesayangannya itu.
Anak itu segera memeluk Ibunya dan menangis tersedu-sedu.
“ Albart dengarkan Mommy, jangan pernah membenci dia......di di dia menderita kejiwaan sayang.
Ibu ingin nanti kau bisa menjadi seorang psikolog dan menyembuhkan orang seperti dia.Ini murni
sebuah kecelakaan, “ ucap Mrs. Van sambil berusaha menarik nafas untuk melanjutkan kata-katanya,
“ tolong kabulkan permintaan terkahir Mommy Albert...Hnggg.....Mommy loves you Son.”
Itu adalah ucapan terakhir Mrs.Van sebelum beliau meninggal.
Albart yang akan mengamuk akhirnya urung karena kedatangan polisi.
Sedangkan penjual itu terus bergumam kata maaf.
@Van Albart‘s thuisbegeleiding, Rotterdam
Sesampainya di gedung serba putih itu, Albart menempatkan Andrew di sofa depan.
Tiba tiba Andrew terbangun dan berteriak histeris sambal matanya tertuju pada sebuah foto besar itu,
“ Maafkan aku nyonya, sungguguh saya tidak sengaja maafkan saya nyonya maaf…hiks! “
Mendengar hal itu wajah Albart memerah seperti orang kerasukan , lalu tersenyum lebar.
Tangannya mengambil sesuatu yang mengkilap di atas meja dan ia mendekati
Andrew serta berkata, “ Engkau ingin dimaafkan oleh dia bukan? Aku ingin kau segera bebas dari
penyesalan, maka dari itu, aku akan membantumu meminta maaf langsung kepada dia.Inilah cara
psikolog sepertiku bekerja. Sampai jumpa kawan! Hahahahaha! ”
Dibawanya Andrew untuk berkumpul bersama temannya di balik lukisan itu.
Setelahnya, tak ada lagi suara raungan dari tempat putih itu. Hanya sunyi dan tertawaan.
Oleh : Atya Danastri Masantika
VIII.9 /05
Namanya Albart Van Helen. Sesuai namanya, Albart yang berarti bersinar, kepopulerannya sebagai seorang psikolog sudah tersohor di negeri seribu kincir angin itu. Seluruh masa mudanya lenyap ditelan oleh bukit buku dan juga para pasien yang sering menggunakan jasanya untuk terapi . Ingat, hanya sekedar konseling bukan menangani manusia yang gila atau perilakunya tak terduga itu! Kecuali jika ia sedang teringat akan mendiang Ibunya. Tak tanggung – tanggung, tahun ini Albart telah resmi menyandang gelar Psy.D setelah menyelesaikan kuliah S3 nya di Radboud University selama 2 tahun. Otak seorang Albart memang tidak diragukan lagi.
Van Albart‘s thuisbegeleiding, Rotterdam, December 1990
Ruang serba putih bersih tanpa corak, berbagai grafik dan sebuah foto besar bergambar wanita yang sedang tersenyum terpampang di dindingnya. Seorang psikolog berjas putih, berambut coklat kemerahan duduk tanpa ekspresi sambil memainkan liontin kalungnya yang sangat berharga . Name tag yang digunakannya bertuliskan Albart Van Helen Psy.D. Pandangannya lurus tajam menatap grafik yang terpampang. Tiba-tiba seonggok perangkat elektronik kecil yang biasa orang sebut Smartphone itu berdering.
“ Goedemorgen Dr, Violette. Ada apa pagi-pagi begini anda menghubungi saya? “ Tanya Albart tanpa basi-basi. Ya, begitulah sifatnya.
“ Goedemorgen Dr.Albart. Begini, ada seorang pasien pendatang menderita Skizofrenia kronis. Ia tak mampu lagi berkomunikasi dengan kami, bahkan Dr.John pun sudah angkat tangan. Maka dari itu, kami minta bantuan anda untuk menanganinya. Bagaimana Dr. Albart? “ Tanya Dr. Violette lewat telepon.
“ Ck. Baiklah aku akan ke sana kirim saja alamat rumah sakit jiwamu itu ke nomorku! “ titah Albart sembari mematikan sambungan teleponnya.
Sungguh jika bukan karna pesan mendiang Ibunya dulu, ia tak akan sudi untuk mengurusi manusia gila itu!
Sebelum berangkat ia mengecup liontin kalung yang berisi abu mendiang Ibunya.
“ Ik hou van je moeder, “ ucapnya lirih sebelum ia mengendarai mobilnya menuju ke tempat yang
baginya sangat tak menggairahkan itu.
Johannes psychiatrisch ziekenhuis, Amsterdam
Hanya perlu sekitar 30 menit untuk Albert pergi ke tempat itu. Saat ini ia sedang amat sangat
memicingkan matanya melihat sekitar. Ia sungguh berusaha untuk menghindari mereka yang
berbicara dan begerak dibawah sadar. Sungguh jika boleh Albart ingin lari saja dari tempat ini.
Namun yang namanya Albart akan terus berusaha mempertahankan gelar dan popularitasnya yang
baginya penting itu. Ia pun terus menatap tak suka pada sekelilingnya seolah ada rasa terpendam.
“ Ck.Apa-apaan mereka tadi, berbicara pun tak jelas, bagaimana bisa Dr. Violette mau bekerja di
tempat macam ini. Sungguh tak habis pikir! “ Geram Albart.
Sesampainya di kantor Dr. Violette , Albart disambut hangat oleh Dr. Violette langsung.
“ Welkom bij Dr. Albart. Saya tau anda tak suka berbasa-basi. Mari kita mulai saja pembicaraannya.“
ucap Dr.Violette yang hanya ditanggapi oleh dengusan DR. Albart.
“ Namanya Vincent Andrew. Lahir di Glethroon 15 Agustus 1960. Umur 30 tahun. Keluarganya
sudah tidak diketahui keberadaannya. Ditemukan di pinggiran jalan Rotterdam. Kondisinya saat ini
sedang mengalami Skizofrenia kronis. Dan setelah dianalisa lebih lanjut, kemungkinan korban
sebelumnya mengalami Post Traumatic Stress Disorder dalam kurun waktu yang lama. Namun,
karena tak segera ditangani, kondisinya menjadi kronis seperti sekarang. Andrew sering berbicara
sendiri sambil menangis dan meminta maaf tak jelas , “ jelas Dr. Violette menceritakkan hasil
pemeriksaanya secara detail.
Albart terdiam sementara untuk mencerna apa yang dikatakan Dr.Violette.
Kemudian Albart menyahut, “ Untuk kasus yang seperti ini memang sulit untuk menemukan
penyebabnya secara pasti. Namun dari tingkah lakunya, kita masih dapat menduga-duga.
Yang terpenting lakukan terapi remediasi kognitif untuk membantunya mengingat dan menceritakan
apa yang terjadi sebelumnya!Untuk kali ini, saya yang akan menangani Andrew menjalani terapi.”
Dr. Violette pun mengantar Albart untuk menemui Andrew di ruang isolasi. Terlihat seorang memakai
baju khas panti kejiwaan meringkuk di pojok kamar itu. Sudah dapat dipastikan itu adalah Andrew.
Kondisinya benar bersih dari luar. Namun tak ada yang tau bagaimana keadaan jiwanya yang
sebenarnya. Bahkan seorang psikolog seperti Albart dan Violette pun hanya menduga-duga saja.
Albart mendekat perlahan sambil bergumam pelan, “ Andrew come here please. Mari berbicara
denganku. “
Andrew menoleh dan tiba tiba berteriak meminta maaf seperti orang kesetana.
Albart hanya melihatnya tanpa ekspresi kemudian memberi isyarat kepada Dr. Violette untuk segera
keluar dari ruangan itu.
“ Dr. Violette melihat kondisinya yang seperti itu, saya sebagai seorang psikolog bukan sebagai
seorang Albart memutuskan untuk merawatnya secara intensif di gedung konseling saya sendiri .
Karena untuk kondisi seperti itu, saya ragu dia akan mendapat perawatan yang memadai
di sini, “ jelas Albart.
Dr. Violette terdiam untuk berpikirselama beberapa saat. Terlihat raut wajah khawatir yang
tercetak jelas di wajahnya.
“ Saya tau apa yang anda khawatirkan Dr. Violette. Tapi tenang saja, kali ini saya berjanji
akan merawatnya demi mendiang Ibu saya dan juga demi sumpah seorang psikolog sejati.
Segera siapkan kebutuhannya! Saya akan membawanya saat ini juga! “ perintah Albart.
Dr.Violette mau tak mau harus setuju dengan apa yang dikatakan Albart. Ia segera menyuruh
bawahannya untuk mempersiapkan segala kebutuhan Andrew. Setelahnya, Andrew yang sedang
tertidur pulas diangkut ke dalam mobil mewah milik Albart. Setelah memohon izin untuk kembali,
Albart melajukan mobilnya dengan cepat.
Rotterdam’s Market, February 1980
Di siang yang terik tanpa awan berkumpul bersama, seorangwanita tua berpakaian psikolog
bernama Mrs.Van Alice sedang berbelanja daging potong di pasar untuk makan malam nanti.
Sedangkan anaknya menunggu beliau di dalam mobil dekat situ.
“ Excuse me Mr, can I have some meat please ? “ ucapnya sopan.
“ Okay,please wait for a while Mrs, “ ucap si penjual.
Selagi sang penjual memotong dagingnya, terdengar cuitan nakal dari penjual yang sebelah.
“ Oh My God. Apa yang sedang Ibu lakukan? Lebih baik anda membeli danging di toko saya.
Dia itu penderita bipolar disorder. Kalu dia sedang tidak ingin berjualan, ia bisa menaruh racun
di daging yang dijualnya itu! “ hina sang penjual daging dari toko sebelah sambil menunjuk orangnya.
Penjual yang yang mendengarnya langsung naik darah. Ia ingin memukul si penjual, namun tanpa
sengaja, pisau yang dipegangnya terhempas dan tepat menusuk di jantung Mrs. Alice.
Dan tepat saat itu juga anak dari Mrs. Alice turun ingin menghampiri Ibu kesayangannya itu.
Anak itu segera memeluk Ibunya dan menangis tersedu-sedu.
“ Albart dengarkan Mommy, jangan pernah membenci dia......di di dia menderita kejiwaan sayang.
Ibu ingin nanti kau bisa menjadi seorang psikolog dan menyembuhkan orang seperti dia.Ini murni
sebuah kecelakaan, “ ucap Mrs. Van sambil berusaha menarik nafas untuk melanjutkan kata-katanya,
“ tolong kabulkan permintaan terkahir Mommy Albert...Hnggg.....Mommy loves you Son.”
Itu adalah ucapan terakhir Mrs.Van sebelum beliau meninggal.
Albart yang akan mengamuk akhirnya urung karena kedatangan polisi.
Sedangkan penjual itu terus bergumam kata maaf.
@Van Albart‘s thuisbegeleiding, Rotterdam
Sesampainya di gedung serba putih itu, Albart menempatkan Andrew di sofa depan.
Tiba tiba Andrew terbangun dan berteriak histeris sambal matanya tertuju pada sebuah foto besar itu,
“ Maafkan aku nyonya, sungguguh saya tidak sengaja maafkan saya nyonya maaf…hiks! “
Mendengar hal itu wajah Albart memerah seperti orang kerasukan , lalu tersenyum lebar.
Tangannya mengambil sesuatu yang mengkilap di atas meja dan ia mendekati
Andrew serta berkata, “ Engkau ingin dimaafkan oleh dia bukan? Aku ingin kau segera bebas dari
penyesalan, maka dari itu, aku akan membantumu meminta maaf langsung kepada dia.Inilah cara
psikolog sepertiku bekerja. Sampai jumpa kawan! Hahahahaha! ”
Dibawanya Andrew untuk berkumpul bersama temannya di balik lukisan itu.
Setelahnya, tak ada lagi suara raungan dari tempat putih itu. Hanya sunyi dan tertawaan.
Oleh : Atya Danastri Masantika
VIII.9 /05
Baguss
BalasHapusBagus
BalasHapus