Bagian dari Mereka
Namanya Izzy, Izzy Lavely Nayla. Ia merupakan anak tunggal dari pasangan konglomerat ibukota. Sekarang, ia sedang menempuh pendidikan di semester tiga atau kelas sebelas. Tidak mudah bagi orangtua Izzy untuk membujuk kepala sekolah agar meluluskan anak semata wayangnya ke semester tiga. Banyaknya absensi ketidakhadiran menjadi alasan utama.
Terlahir menjadi kaya raya membuat Izzy hidup sangat mewah. Setiap hari ia mengendarai mobil untuk menuju ke sekolah. Mobil merahnya selalu terparkir di sebelah mobil kepala sekolah. Padahal, sudah ditetapkan tempat parkir untuk siswa dan guru pengajar. Meski sudah mendapat teguran berkali-kali dari pihak sekolah, Izzy tetap saja memarkir mobil sesukanya.
Waktu menunjukan pukul sepuluh lewat lima belas menit. Izzy belum bangun. Asisten rumah tangganya hanya geleng-geleng kepala melihat kebiasaan putri majikannya yang diluar kebiasaan manusia normal.
“Izzy, bangun!”
Ayah berteriak sambil berusaha membuka paksa pintu bercat merah muda. Sebelum memutuskan hal ini, ayah dan ibu Izzy sudah merencanakannya matang-matang dan keputusan tidak dapat diganggu gugat. Gadis itu tak membuka mata sedikitpun saat dibangunkan. Ayahnya terpaksa menggendong Izzy menuju mobil.
Selama perjalanan hanya lagu yang sama yang diputar. Hal itu dilakukan untuk mengenang lagu favorit Izzy semasa kecil. Putri semata wayang mereka akan dititipkan pada orang yang dirasa tepat untuk mendidiknya selama liburan. Setelah dua jam menempuh perjalanan yang macet, mereka telah sampai di desa tua. Sangat tua. Desa itu jauh dari kebisingan kota.
“Bu, kita ada dimana?”
“Ayo Izzy! Segera turun dari mobil,” Ibu mulai mengeluarkan barang-barang yang ada di mobil.
Izzy belum sepenuhnya sadar. Matanya tidak sanggup terbuka sempurna. Terlalu banyak tenaga yang dihabiskan hari kemarin bersama teman-temannya. Mereka menonton pentas seni sekolah lain hingga larut malam. Membuat khawatir setiap orangtua. Namun ibu masih tetap manyayangi putrinya. Ia menggandeng Izzy dan berjalan di belakang ayah.
Jalan setapak untuk menuju rumah nenek sangat sepi. Namun, seperti ada sosok yang memerhatikan setiap langkah mereka. Entah berwujud apa makhluk itu. Izzy hanya bisa merasakan bulu kuduknya merinding. Genggaman tangannya dieratkan pada jari-jemari ibunya. Setiap langkah ia memastikan bahwa ibu dan ayahnya selalu berada di sekitar Izzy. Tak ada yang membuka suara, mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
Setelah berjalan selama sepuluh menit mereka tiba di sebuah rumah. Ayah mengetuk pintu kayu yang sudah lapuk. Tak lama kemudian muncul sesosok nenek yang berjalan menggunakan tongkat. Ia tersenyum ramah menyambut kedatangan orang dari kota.
“Akhirnya kau datang juga, Nak.”
“Ini Izzy, anak saya yang akan tinggal di rumah nenek,” ucap ayah.
Ayah menuntun Izzy untuk bersalaman dengan nenek. Izzy masih bingung dengan apa yang terjadi. Di sisi lain, nenek menjamu mereka dengan sangat baik. Banyak sekali kue dan buah yang dihidangkan di atas meja. Ayah dan ibu menikmati makanan nenek dengan senang hati.
“Kita mau apa datang ke sini, Yah?” tanya Izzy bingung.
“Selama liburan ini, kamu akan tinggal di sini dengan nenek,” jawab ayah.
“Tapi ini belum liburan. Izzy nggak akan mau tinggal di sini.”
“Pihak sekolah sudah memberi kamu izin libur lebih awal, setelah tinggal di sini kami berharap kamu jadi orang yang lebih baik.”
Ibu mengecup kening putrinya sebelum mobil yang dikendarai melaju kencang meninggalkan desa itu. Tangis Izzy tak bisa dibendung lagi, dibenamkan kepalanya di kedua lutut. Perih sekali hatinya. Izzy membutuhkan perhatian lebih dari orang tuanya. Bukan malah dijauhkan dari mereka. Ia merasa menjadi anak yang tidak dianggap keberadaannya.
Nenek menuntun Izzy menuju ke dalam rumah. Izzy merasa merinding untuk yang kedua kalinya, perasaannya sungguh tidak nyaman. Ia memutuskan untuk pergi ke kamarnya yang jauh dari kata mewah. Ia membuka jendela agar kamarnya tidak pengap. Tiba-tiba sebuah tangan berwarna pucat menggenggam tangan kiri Izzy. Ia kaget dan segera menyingkirkan tangan itu dengan bambu yang ada di pojok kamarnya.
Izzy mecoba melupakan tangan pucat yang tadi menyentuh pergelangan tangannya. Matanya yang sembab akibat menangis mulai menutup. Di dapur, nenek menyiapkan makan malam untuk dirinya dan Izzy. Setelah semua siap, nenek membangunkan cucunya. Namun, kondisi Izzy sangat aneh. Kedua matanya terbuka, tetapi ia tidak bisa menggerakan tubuhnya sedikit pun.
Nenek mengetahui apa yang terjadi pada cucunya. Ia mengambil air dari sumber dekat rumah dan menyemprotkannya pada tubuh Izzy. Ajaibnya, Izzy kembali normal. Badannya dapat digerakkan seperti semula.
“Kamu ketempelan, pasti saat sampai rumah nenek kamu belum mencuci kakimu?” tebak nenek.
“Bukankah itu hanya mitos?” tanya Izzy penasaran.
“Tidak, di desa ini semuanya benar-benar terjadi,” jelas nenek.
Nenek mengambil nasi dan lauk pauk yang telah dimasaknya. Izzy memakannya dengan lahap. Badannya terlalu lelah untuk makan dengan posisi yang benar. Ia memakannya sambil tidur diatas kasur rapuh. Nenek meminta Izzy untuk duduk saat melahap makan malamnya. Namun Izzy semakin bingung dengan nenek yang tidak pengertian.
“Izzy!!!” nenek tiba-tiba berteriak sangat kencang.
“Kalau makan duduk yang benar, kalau tidak akan berubah menjadi ular,” jelas nenek menahan emosi.
“Maksud nenek apa? Itu tidak mungkin terjadi,” bantah Izzy.
Tiba-tiba muncullah seeokor ular dari pintu kamar. Tidak hanya satu, tetapi lima ekor ular merayap di atas dinding kamar. Izzy mencubit pipinya. Terasa sakit. Ia tidak sedang bermimpi! Hewan melata itu semakin dekat dengannya. Tak ada yang bisa ia lakukan selain berteriak dengan kencang. Nenek melambaikan tanganya seolah berbicara pada ular-ular itu. Satu demi satu ular itu keluar dari kamar.
“Lihat! Mereka manusia yang telah terkutuk karena makan sambil tidur,” jelas nenek.
Izzy segera duduk di sebelah nenek. Nenek memeluk cucunya erat hingga Izzy tertidur di pangkuannya. Keesokan paginya nenek membangunkan Izzy untuk menemaninya mencari kayu bakar di sebelah timur. Izzy segera bangun dan mandi di sungai belakang rumah nenek. Lagi-lagi, di sungai itu sangat sepi. Memang kata nenek, orang-orang lebih senang mandi sebelum matahari terbit. Aaneh!
Setelah selesai, Izzy segera kembali ke rumah. Namun, ia merasa ada sosok yang memerhatikan setiap gerak-geriknya. Ia mempercepat langkahnya tanpa menengok ke kanan dan kiri. Saat ia tiba di rumah, nenek sudah membawa kayu bakar yang jumlahnya sangat banyak. Izzy sangat kaget. Mustahil, nenek yang sudah tua dan berjalan dengan tongkat mampu membawa kayu bakar sebanyak itu dengan waktu yang sangat singkat.
“Lama sekali di sungai, aku sudah membawa kayu bakar itu sendirian,” ucap nenek menjawab pertanyaan Izzy yang belum sempat diutarakan.
Izzy hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal menanggapi perkataan nenek. Setelah melakukan aktivitas bersama nenek sepanjang hari, Izzy duduk di kursi tua yang diletakkan di depan rumah. Ia menatap matahari yang akan terbenam.
“Halo kakak, ayo bermain petak umpet bersamaku,” ajak seorang anak yang kira-kira berumur lima tahun .
“Halo, adik! Bagaimana jika besok pagi saja, ini sudah malam,” tawar Izzy.
“Aku ingin sekarang!” rengeknya.
Izzy dengan berat hati menuruti kemauan anak kecil yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Sungguh tidak masuk akal untuk bermain petak umpet di malam hari. Selain itu, desa tempat yang ia tinggali juga sangat sepi. Namun, daripada membuatnya menangis, Izzy melupakan keinginannya untuk beristirahat.
Ia berjalan menuju hutan. Langkah anak itu sangat cepat. Izzy harus berlari melewati lebatnya semak-semak hutan.
“Tunggu, Dik!” teriak Izzy yang mulai kehilangan jejak.
Izzy sampai di tengah hutan. Suara aneh mulai mengganggu telinganya. Terdengar seperti kumpulan orang yang sedang tertawa. Izzy berusaha memfokuskan matanya untuk menemukan keberadaan anak yang mengajaknya bermain. Ia merasakan keanehan dengan lingkungan sekitarnya.
“Kakak, aku di sini,” suara anak itu mengagetkan Izzy.
Izzy merasa lega saat mendengar suara itu. Ia menolehkan kepalanya ke belakang. Namun bukan sosok anak kecil lagi yang ia temui. Sesosok raksasa tanpa kepala berdiri di hadapannya. Kondisi tubuhnya mengenaskan. Izzy mematung tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Belum sempat melarikan diri, sosok itu telah membawa Izzy ke atas pohon beringin. Ada banyak sosok yang menyeramkan di sana. Termasuk nenek yang selama ini tinggal bersamanya. Nenek bukan manusia lagi! Ia adalah bagian dari ‘mereka’. Izzy menangis tak percaya melihat banyak sosok menyeramkan yang ada di hadapannya.
“Sudah kubilang, mitos di sini benar-benar terjadi,” ucap sosok yang selama ini menjadi ‘nenek’ Izzy.
Mulai saat itu, Izzy tetap hidup. Namun tak satupun manusia yang bisa melihat keberadaanya di pohon beringin. Ia hanya bisa menangis saat melihat ayah dan ibu menjemputnya ke rumah nenek. Mereka kebingungan mencari keberadaan nenek dan Izzy yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak.
“Kau adalah bagian dari kami sekarang. Hahahahahaah,” ucap sosok menyeramkan saat melihat Izzy menangis sambil memandangi orang tua yang tidak bisa melihat keberadaannya.
Oleh :
Arya Aditama
VIII.9 / 04
Tidak ada komentar:
Posting Komentar