Daftar Mata Pelajaran

Senin, 14 Januari 2019

Cerpen : Ikhlas Tanpa Syarat

IKHLAS TANPA SYARAT
Ikhlas adalah sebuah kata yang sering terucap tapi begitu sulit untuk melakukannya. Aku sendiri tidak tahu ikhlas yang sebenarnya itu apa dan bagaimana hingga pada suatu hari aku tersadar melalui nasehat sahabatku Serena yang biasa disapa dengan panggilan Rena. Kami bersahabat sejak dua tahun yang lalu, tepatnya sejak kami berada di kelas 7. Oh iya, perkenalkan namaku Elmira. Aku bersekolah di SMP PERSADA, sebuah sekolah unggulan di kota Jogja. Sebenarnya aku tinggal di sebuah desa kecil di Kabupaten Pemalang, akan tetapi demi mengejar cita-citaku aku rela tinggal di asrama dan hidup terpisah dari orang tuaku. Saat ini aku sudah kelas 9, setiap hari aku selalu disibukkan dengan tugas-tugas sekolahku yang menggunung dan tiada habisnya apalagi sebentar lagi aku harus menghadapi UNBK. Beruntung aku mempunyai seorang sahabat yang selalu setia menemani dan mendengar semua keluh kesahku. Bagiku Rena sahabat yang the best lah….

Pada saat itu dengan perasaan marah dan emosi aku masuk ke kamar Rena dengan meluru tanpa mengetuk pintu ataupun mengucap salam. Kelihatan Rena sedang sibuk dengan tugas-tugasnya yang menumpuk di meja belajarnya. Sekilas dia memandang ke arahku namun setelah itu dia kembali fokus melanjutkan tugasnya tanpa bertanya dan menghiraukan aku. Akupun segera kembali ke kamar dan pergi tidur. Emosiku semakin menjadi mengingat sikap Rena kepadaku barusan. 

Keesokan harinya aku bertemu Rena di kantin sekolahku. Lantas dia menghampiriku dengan penuh kekhawatiran. “Mira kamu nggak apa-apa kan, soalnya semalam aku lihat kamu…”. Tak sempat dia melanjutkan kata-katanya lantas aku memotongnya, “Aku nggak apa-apa kok,” jawabku ketus. Lalu aku bergegas pergi meninggalkan Rena tanpa permisi. Di taman aku duduk sambil membuka-buka instagramku, terbaca olehku sebuah tulisan milik Rena yang berbunyi, “Ketika api amarah mulai membakar hati yang membara, maka padamkanlah dengan kesejukan air wudhu’ yang akan memadamkan amarahmu karena amarah itu ibarat api yang membakar dan cara melenyapkannya adalah dengan percikan air.” 

“Hemm, Rena sedang menyindir aku kali yah?” tanyaku dalam hati. Aku mulai su’udzon padanya yang membuatku tidak sabar untuk menemuinya dan meminta klarifikasi darinya. Aku segera bergegas menuju kantin, berharap Rena masih ada di sana. Ternyata benar dugaanku dia masih ada di sana, tanpa ba bi bu aku menarik tangannya dan mengajaknya berbicara empat mata. “Rena, maksud kamu apa sih dengan tulisan di instagrammu? Kamu mau menghina aku ya? Menyindir aku?” aku mulai mencecarnya sambil kupandangi dengan tajam kedua matanya. Rena hanya tersenyum tenang memandangku.

“Astaghfirulloh, sungguh tidak ada maksud aku untuk menghina sahabatku sendiri, apalagi di sosmed. Kamu telah salah paham Mira. Sebelumnya aku minta maaf jika tulisanku itu membuatmu tersinggung, tapi percayalah aku menulis itu bukan untuk kamu,” jelas Rena kepadaku. Tapi bagiku penjelasannya itu tak jua memuaskanku yang sudah terlanjur terbakar emosi. “Jadi maksud kamu apa menulis seperti itu?” tanyaku lagi padanya. Lalu Rena menggenggam kedua tanganku sambal berkata, “Tulisan itu sebenarnya adalah tips untuk mengurangi rasa amarah Mira. Masalah nggak akan pernah selesai jika hanya dihadapi dengan emosi.” Rena mulai melepaskan genggaman tangannya dan aku mulai berpikir sejenak meresapi maksud dari kata-katanya itu. “Maafkan aku Ren, aku gak sengaja udah menjadikan kamu pelampiasan amarahku, maafkan aku ya,” sambil kuusap lembut bahunya. Rena tersenyum dan mengangguk tanda menerima permohonan maaf dariku.


Dan beberapa hari sesudah itu, seperti biasa aku masuk ke kamar Rena dengan perasaan hampa dan kecewa. “Mira kamu kenapa? Kok wajahnya ditekuk seperti itu, gak semangat banget deh?” tanya Rena yang sedang santai membaca komik kesayangannya di atas kasur. “Ren rangking tryout UNBK ku jebol lagi, aku gak tahu harus gimana lagi? Aku sudah giat belajar, rela begadang tiap malam, sholatku juga rajin tapi masih aja begini. Aku takut ayah ibuku akan kecewa dan menyalahkanku. Aku harus gimana Ren?” Rena segera menutup komiknya dan bergegas menghampiriku. “Jujur ya, dari hasil pengamatanku selama ini aku acungi jempol dengan semangat belajarmu. Kamu rajin belajarnya, selalu semangat mengerjakan tugas-tugas sekolah dan aku lebih bangga karena kamu rajin beribadah. Tapi Mira yang namanya manusia akan selalu diuji dengan bermacam-macam cobaan. Anggap sajalah ujian ini sebagai tanda bahwa Allah menyayangimu dan Dia menguji tahap kesabaran dan ketaqwaan kamu,” jawab Rena.

Dan aku menunduk meresapi bait demi bait kata-kata Rena tadi. Sekejap lamunanku buyar ketika Rena kembali melanjutkan kata-katanya, “Dalam melakukan suatu perbuatan itu yang terpenting adalah niatnya, perbuatan yang baik harus diawali dengan niat yang baik yang disertai dengan usaha yang gigih dan keikhlasan dalam menghadapinya,” jelas Rena. Mak jlebbb…dalam sekejap nasehat itu membuatku introspeksi diri atas apa yang telah aku lakukan selama ini. Mungkin ada benarnya kata-kata Rena, selama ini aku jauh-jauh bersekolah hanya untuk mengejar titel sebagai siswa berprestasi kebanggaan warga desaku karena hanya aku satu-satunya siswi di daerahku yang bisa masuk di sekolah unggulan dan ternama  di kota Jogja. Yang aku kejar selama ini hanyalah penghargaan dan pujian dari orang lain atas prestasiku. “Ampuni aku Yaa Allah, aku tidak mendahulukan-Mu dalam segala aktivitasku, ibadahku hanya semata-mata untuk memuluskan tujuan dan harapan-harapan yang ingin kucapai dan bukannya karena ikhlas hanya untuk mengharap ridho-Mu. Bahkan terkadang semua kewajiban yang aku laksanakan sebagai seorang hamba aku jalani dengan penuh keterpaksaan. Astaghfirullah,” sesalku dalam hati.

Hari itu di jam pulang sekolah, aku masih malas untuk segera pulang ke asrama, aku duduk santai di taman sambil menunggu penatku hilang. Aku membuka-buka intagramku, kemudian ku baca sebuah tulisan terbaru dari Rena yang berbunyi, “Ikhlas yang bagaimana itu ketika kewajiban kau jalani dengan keterpaksaan. Ketika ketulusan kau nodai dengan cemoohan. Ketika kemaafan kau sertakan dengan hal-hal yang menyakitkan. Dan pemberiaan yang kau harapkan balasannya. Masih pantaskah kita mengaku ikhlas dengan semua ini? Ikhlas itu ketika semua yang kau lakukan adalah tanpa syarat.”

Tanpa kusadari menetes air mataku setelah membaca tulisan Rena tadi, sedikit banyak terasa menyesal di hatiku karena pernah berburuk sangka dengan menuduh Rena menghina dan menyinggungku lewat tulisan di laman instagram miliknya. “Ya Allah apa yang telah aku lakukan pada Rena sahabat terbaikku, aku harus meminta maaf padanya.” Sekejap penatku hilang dan aku segera berlari kembali ke asrama. Tak sabar rasanya ingin segera bertemu dengan sahabatku, karena seharian ini aku tidak bertemu dengannya di sekolah. 

Setibanya aku di asrama, aku melihat banyak orang berkerumun di depan kamar Rena. Aku penasaran dan memberanikan diri untuk bertanya pada mereka. “Apa sebenarnya yang terjadi di sini, kok ada rame-rame begini?” Lalu, salah seorang dari mereka tergagap menjawab pertanyaanku. “Mira tenang dulu jangan panik,” jawab salah satu dari mereka dan menyuruhku untuk duduk di kursi. Perasaanku semakin tidak karuan, pasti telah terjadi sesuatu yang tidak beres di sini. “Sebenarnya Rena telah pergi untuk selamanya, dia telah meninggal dunia . Kamu yang sabar ya Mira,” mereka mencoba menjelaskan. Serasa disambar petir kala itu, aku tidak bisa menerima dan mempercayai apa yang telah terjadi. Kemudian aku beranjak pergi menuju rumah sakit ditemani oleh ibu asrama dan teman-teman penghuni asrama. Ternyata memang benar Rena telah pergi meninggalkan kami. 

Dari rumah sakit jenazahnya dibawa ke kampung halamannya di Sleman untuk segera dimakamkan. Kami pun turut mengiringi jenazah Rena sampai ke rumahnya. Rumahnya terlihat besar dan mewah, namun tidak ada seorang pun yang menyambut jenazah Rena, hanya ada ibu-ibu yang merupakan tetangga Rena yang menyambut kedatangan kami. Segera jenazah Rena disholatkan dan dimakamkan di tempat peristirahatan terakhirnya. Air mata dan do’a kami tak henti-henti kami panjatkan untuk Rena. Aku tatapi jasadnya yang telah terbujur kaku berbalut kain kafan, kulihat wajahnya yang putih bersinar dan terukir senyuman di bibirnya. Entah mengapa Rena terlihat sangat cantik seakan-akan memang sudah siap menerima       takdir-Nya.

Sungguh aku tak mampu menahan kesedihanku kala itu. Air mataku seakan tiada henti terus berguguran membasahi pipiku. Usai berdo’a dan menabur bunga di atas makam Rena, kami segera pulang ke asrama dan kembali beraktifitas seperti biasa. Aku tetap meneruskan hari-hariku dengan kenangan-kenangan indah yang pernah kami buat dulu.

Pada suatu sore, aku diminta ibu asrama untuk mengemasi barang-barang milik Rena untuk dikirimkan ke kampung halamannya. Semua barang-barang milik Rena masih tertata rapi dalam kamarnya. Pandangan mataku kemudian tertuju pada sebuah buku harian bersampul putih yang tergeletak di atas meja belajarnya. Halaman demi halaman mulai kubuka dan kubaca. Tanpa terasa air mataku kembali membasahi pipi menahan keriduanku padanya. Sampai pada halaman terakhir ada sebuah surat yang bertuliskan namaku di atasnya. Aku buka surat itu dan mulai kubaca isinya. 

“Sahabatku Mira yang sangat aku sayangi, maafkan aku andai aku dengan sengaja maupun tidak pernah menyakiti hatimu. Terlalu banyak yang tidak kamu ketahui tentang diriku. Sebenarnya aku adalah seorang gadis sebatang kara yang mengidap penyakit kanker otak stadium lanjut. Kedua orangtuaku telah meninggal dunia saat aku masih kecil. Penyakit kanker ini mulai aku derita sejak aku lulus SD hingga saat ini kankerku sudah pada stadium 4. Aku tahu waktuku tidak banyak lagi untuk tertawa dan sekaligus menagisi takdir ini. Aku hanya bisa pasrah dan ikhlas menunggu waktuku untuk kembali padaNya.
Maaf aku telah merahasiakan penyakitku ini kepadamu. Bukannya aku tidak percaya padamu, aku hanya takut jika kau berteman denganku hanya karena rasa simpati dan belas kasihan. Aku tidak suka mengemis simpati pada orang lain. Dengan merahasiakan ini aku menjadi lebih kuat dan ikhlas untuk menghadapi kehidupan ini.
Mungkin selepas ini aku tidak bisa lagi menjadi pendengar setia curhatmu lagi, tidak bisa memberi nasehat dan motivasi untukmu lagi. Mira sahabat terbaikku, ingatlah “kemanapun kamu melangkah dan apapun yang kamu lakukan pastikan niat karena Allah, jika niat kita baik maka Allah akan mempermudahkan urusan kita. Dalam keadaan apapun teteplah bersyukur dan bersabar, karena orang sabar pasti akan disayang Allah dan apapun yang kamu lakukan jangan lupa untuk selalu ikhlas untuk mengharap ridho-Nya. Yang terakhir kumohon jangan pernah lupakan aku, karena aku tak pernah melupakanmu. Terima kasih sudah menjadi sahabat sekaligus keluarga untukku selama ini.”
Ikhlas tanpa syarat,
Sahabatmu Serena.
Aku memeluk surat terakhir Rena itu dengan erat. 

Dan setelah beberapa bulan kemudian, alhamdulillah aku berhasil menggenggam ijazah SMP ku dengan nilai yang memuaskan. Hari-hari duka itu berlalu dengan cepat sekali. Dari situ aku belajar untuk menjadi lebih ikhlas, sabar, kuat dan istiqomah dalam melakukan dan menerima sesuatu. Gadis ayu dan kuat ketika mendapat cobaan telah mengenalkanku arti ikhlas yang sesungguhnya. Terimakasih atas semua sudah kau berikan selama ini. Nasehat-nasehat berharga darimu akan senantiasa kuingat. Semoga engkau bahagia disana, Serena sahabatku.

Nabila Hasna Rafifah H.
VIII.9 / 19

1 komentar: