Gadis Pantai : Semua Tunduk Pada Penguasa
Judul : Gadis Pantai
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Terbitan Pertama : 1987
Jumlah Halaman : 280
Roman karya pengarang legendaris
Indonesia, Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Gadis Pantai ini merupakan karya
yang tidak terselesaikan (unfinished
story). Buku ini pada awalnya terdiri dari tiga trilogi utuh, namun kedua
lanjutannya telah hilang di bawah kekerasan kekuasaan angkatan darat. Seperti
kebanyakan dari karya Pram yang berisi mengenai isu feodalisme, kesenjangan
sosial, perbedaan kasta, pertentangan status dan isu-isu sosial. Buku ini
mengambil isu feodalisme jawa yang dianggapnya terlalu kejam. Buku ini terinspirasi
dari kisah neneknya sendiri.
Gadis Pantai mengisahkan tentang
seorang kehidupan seorang gadis remaja yang berasal dari perkampungan di
pesisir pantai yang dinikahkan dengan seorang pembesar dari kota. Kisahnya
bermula dari seorang pembesar yang melamarnya, orang tuanya langsung
merestuinya karena ingin anaknya hidup terjamin bila menjadi istri Bendoro
tanpa memikirkan perasaan anaknya yang masih tidak rela untuk melepaskan masa
kanak-kanaknya dan menjadi seorang istri. Pernikahan ini tidak seperti biasanya
karena sang Bendoro tidak menikah secara langsung dengan gadis pantai namun
sang Bendoro diwakilkan oleh keris.
Kemudian
kisahnya berlanjut menceritakan bagaimana gadis pantai harus menyesuaikan diri
dengan kehidupan penuh kemewahan dan tata krama. Dalam kehidupannya menjadi
istri Bendoro ia selalu diajari oleh pelayan tua yang menemaninya setiap saat.
Hal ini membuatnya menyayangi sang pelayan yang ia anggap sebagai ibunya
sendiri. Ia diwajibkan melaksanakan perintah Bendoro (suaminya) tanpa
membantah, mendapat penghormatan dari semua pelayan, tidak diperkenankan untuk
melakukan pekerjaan yang biasa ia lakukan di kampungnya karena sebagai wanita
utama yang boleh dilakukan hanya memerintah bila ia menginginkan sesuatu,
bahkan kedudukannya berada di atas orang tuanya.
Dua
tahun berjalan, ia menjadi terbiasa dengan segala sesuatu yang ada di rumah
itu. Hingga suatu hari uangnya hilang. Gadis pantai mencurigai kerabat Bendoro
mengambil uangnya saat kamarnya dibersihkan namun ia tak berani mengadukannya.
Hal ini membuat sang pelayan tua membelanya dan langsung menuduh para kerabat Bendoro
tersebut. Pada akhirnya sang Bendoro tahu dan ia mengusir kerabatnya karena
telah berani mencuri sekaligus pelayan tua karena telah lancang menuduh kerabat
jauhnya. Kepergian pelayan membuat Gadis pantai merasa sendiri ditambah
kehadiran Mardinah (kerabat jauh Bendoro) yang juga berasal dari kalangan
bangsawan menggantikan pelayan tua membuat Gadis pantai semakin tertekan.
Karena Mardinah membuatnya sadar bahwa seorang Bendoro tidak dikatakan telah
menikah alias masih perjaka bila menikah hanya dengan seseorang dari kalangan
rendah atau orang kebanyakan, ia baru dikatakan telah menikah bila ia menikah
dengan seseorang yang sederajat dengannya.
Suatu
hari Gadis Pantai meminta ijin Bendoro untuk pulang ke kampungnya menengok
orang tuanya, karena sudah dua tahun mereka tidak bertemu. Anehnya Bendoro
langsung mengijinkannya dengan membawakan berbagai macam oleh-oleh untuk
masyarakat di desa. Gadis pantai ditemani dengan Mardinah berangkat ke desa. Di
desa mereka disambut oleh seluruh warga desa, semuanya bergembira menyambut
kedatangan salah satu orang dari mereka yang kini menjadi istri pembesar.
Karena tak tahan tinggal di kampung Mardinah pun kembali ke kota.
Semua
hingar bingar yang terjadi, berbalik 180 derajat, ketika gadis pantai menyadari
bahwa seseorang yang memijatinya, Mak Pin, adalah laki-laki yang merupakan
saudara Mardinah bernama Mardikun. Semuanya semakin aneh saat Mardinah kembali
dengan membawa banyak pengawal, dan berkata bahwa ia diutus Bendoro untuk
membawa Gadis Pantai kembali, namun Mardinah tidak mampu membuktikan bahwa ia
diutus. Karena curiga, Bapak Gadis Pantai tidak langsung mengijinkan Gadis
Pantai pulang. Dan benar saja, kecurigaan bapak bukan tanpa sebab. Mardinah
terbukti datang untuk membunuh Gadis Pantai ia mengakui bahwa ia disuruh untuk
membunuh Gadis Pantai oleh majikannya di Demak dengan imbalan dijadikan istri
ke-5 Majikan Demak.
Mengetahui
hal itu warga desa marah dan menjadikannya bahan tertawaan dengan menjodohkan
Mardinah dengan Si Doel pendongeng di kampung tersebut yang tidak waras. Mereka
memaksa keduanya menikah, Mardinah tidak menolak dan Si Doel juga tampak
menjadi normal setelah dipasangkan dengan Mardinah. Setelah beberapa hari di
kampung, Gadis Pantai memutuskan kembali ke kota. Ia tak disambut sebegitu rupa
oleh Bendoro, dan tidak ditanyai macam-macam, hal ini membuatnya tenang karena
ia dapat menyelamatkan kampung orang tuanya yang telah menghilangkan pengawal
Mardinah, begitu pula dengan Mardinah yang tak kembali, Bendoro sama sekali tak
menanyakannya. Suatu hari Gadis Pantai merasa dirinya mengandung, hal ini telah
dibuktikan oleh paraji Bendoro sendiri.
Usia
kandungannya kini telah menginjak 9 bulan, ia sudah tak sabar ingin melihat
anaknya. Hal yang ditunggu-tunggunya pun tiba. Gadis Pantai melahirkan seorang
bayi perempuan dibantu oleh dukun beranak kepercayaan Bendoro. Namun bagi
kalangan priyayi anak perempuan kurang diharapkan. Karenanya, sehabis
melahirkan Bendoro sama sekali tak peduli keadaannya dan bayinya. Hal itu
membuatnya tersinggung, mengapa suaminya tak ingin melihat anaknya sendiri.
Tiga bulan kemudian Bapak Gadis Pantai datang menengok, ia datang diperintahkan
oleh Bendoro. Namun setelah menghadap Bendoro muka Bapak menjadi murung dan
menyuruh Gadis Pantai untuk segera membereskan barang-barangnya. Ia menjelaskan
bahwa Gadis Pantai telah dicerai dan diminta untuk segera pergi. Ia tidak
dipebolehkan membawa anaknya bersamanya. Ia yang tak terima berusaha menentangnya
namun apa daya, ia malah diusir. Setelah mendapat janji dari para pelayan bahwa
mereka akan merawat anaknya dengan baik, iapun pergi bersama bapaknya.
Dalam
perjalanan pulang, Gadis Pantai yang telah menjadi Mas Nganten pun merasa malu,
dan enggan untuk pulang ke kampungnya. Ia berpamitan dengan orang tuanya untuk
pergi ke kota mencari pelayan tua yang selalu membantunya dulu. Ia meminta
orang tuanya untuk melupakannya dan merasa tak memiliki anak sepertinya.
Roman
karya Pramoedya Ananta Toer yang belum terselesaikan ini bertema kesenjangan
sosial dengan latar waktu yaitu pada era penjajahan sehingga suasananya begitu
mencekam. Latar tempat yang digunakan di Kampung Nelayan dan Kota. Tokoh utama
pada kisah ini adalah Gadis Pantai, Bendoro, Pelayan Tua, Mardinah, dan Orang
Tua Gadis Pantai. Alur cerita ini maju dan mengandung pesan yang sangat
bermakna, tentang kekejaman pada perbedaan kelas dan feodalisme Jawa dan
hilangnya rasa kemanusiaan terhalang kelas sosial. Ia sampaikan begitu terbuka
pada buku ini tentang ketidaksetujuannya terhadap kesenjangan sosial tersebut.
Pada
segi bahasa yang digunakan dalam buku ini menggunakan Bahasa Indonesia yang lawas sesuai dengan pengarangnya yang
hidup pada era tersebut. Sehingga tidak mudah dipahami terutama pada generasi
muda saat ini. Pada segi cerita, sangat bagus dan lugas, sehingga pesan yang
didalamnya dapat tersampaikan pada pembacanya.
Bagian
yang membuat saya kurang setuju adalah Pram hanya berpihak pada satu sisi dalam
buku ini, ia hanya berpihak pada pihak yang tertindas, Gadis Pantai tanpa
memberikan alasan atau cerita pada pihak Penguasa, Bendoro. Sehingga pada buku
ini kita hanya dapat menangkap bahwa Penguasa bertindak semena-mena tanpa
adanya pendapat dari pihak Penguasa mengapa ia melakukan dan bagaimana
perasaannya. Buku ini menimbulkan kebencian pembaca terhadap pihak Bendoro.
Namun pengarang cerita dapat mengemasnya dengan bagus, sehingga meskipun
mengangkat tentang kesenjangan sosial, tidak menimbulkan perlawanan massal. Roman
ini mengajakkan pada kita untuk selalu berpihak pada kebenaran dan keadilan serta
menjunjung tinggi rasa kemanusiaan tanpa memandang perbedaan kelas sosial.
Diulas oleh :
Dianeera Mahadewi
VIII.9 / 09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar