Daftar Mata Pelajaran

Selasa, 18 September 2018

Gadis Pantai : Semua Tunduk Pada Penguasa Karya Pramoedya Ananta Toer





Gadis Pantai : Semua Tunduk Pada Penguasa


Judul                           : Gadis Pantai
Pengarang                   : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit                       : Lentera Dipantara
Terbitan Pertama      : 1987
Jumlah Halaman       : 280






            Roman karya pengarang legendaris Indonesia, Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Gadis Pantai ini merupakan karya yang tidak terselesaikan (unfinished story). Buku ini pada awalnya terdiri dari tiga trilogi utuh, namun kedua lanjutannya telah hilang di bawah kekerasan kekuasaan angkatan darat. Seperti kebanyakan dari karya Pram yang berisi mengenai isu feodalisme, kesenjangan sosial, perbedaan kasta, pertentangan status dan isu-isu sosial. Buku ini mengambil isu feodalisme jawa yang dianggapnya terlalu kejam. Buku ini terinspirasi dari kisah neneknya sendiri.

             Gadis Pantai mengisahkan tentang seorang kehidupan seorang gadis remaja yang berasal dari perkampungan di pesisir pantai yang dinikahkan dengan seorang pembesar dari kota. Kisahnya bermula dari seorang pembesar yang melamarnya, orang tuanya langsung merestuinya karena ingin anaknya hidup terjamin bila menjadi istri Bendoro tanpa memikirkan perasaan anaknya yang masih tidak rela untuk melepaskan masa kanak-kanaknya dan menjadi seorang istri. Pernikahan ini tidak seperti biasanya karena sang Bendoro tidak menikah secara langsung dengan gadis pantai namun sang Bendoro diwakilkan oleh keris.

Kemudian kisahnya berlanjut menceritakan bagaimana gadis pantai harus menyesuaikan diri dengan kehidupan penuh kemewahan dan tata krama. Dalam kehidupannya menjadi istri Bendoro ia selalu diajari oleh pelayan tua yang menemaninya setiap saat. Hal ini membuatnya menyayangi sang pelayan yang ia anggap sebagai ibunya sendiri. Ia diwajibkan melaksanakan perintah Bendoro (suaminya) tanpa membantah, mendapat penghormatan dari semua pelayan, tidak diperkenankan untuk melakukan pekerjaan yang biasa ia lakukan di kampungnya karena sebagai wanita utama yang boleh dilakukan hanya memerintah bila ia menginginkan sesuatu, bahkan kedudukannya berada di atas orang tuanya.

Dua tahun berjalan, ia menjadi terbiasa dengan segala sesuatu yang ada di rumah itu. Hingga suatu hari uangnya hilang. Gadis pantai mencurigai kerabat Bendoro mengambil uangnya saat kamarnya dibersihkan namun ia tak berani mengadukannya. Hal ini membuat sang pelayan tua membelanya dan langsung menuduh para kerabat Bendoro tersebut. Pada akhirnya sang Bendoro tahu dan ia mengusir kerabatnya karena telah berani mencuri sekaligus pelayan tua karena telah lancang menuduh kerabat jauhnya. Kepergian pelayan membuat Gadis pantai merasa sendiri ditambah kehadiran Mardinah (kerabat jauh Bendoro) yang juga berasal dari kalangan bangsawan menggantikan pelayan tua membuat Gadis pantai semakin tertekan. Karena Mardinah membuatnya sadar bahwa seorang Bendoro tidak dikatakan telah menikah alias masih perjaka bila menikah hanya dengan seseorang dari kalangan rendah atau orang kebanyakan, ia baru dikatakan telah menikah bila ia menikah dengan seseorang yang sederajat dengannya.

Suatu hari Gadis Pantai meminta ijin Bendoro untuk pulang ke kampungnya menengok orang tuanya, karena sudah dua tahun mereka tidak bertemu. Anehnya Bendoro langsung mengijinkannya dengan membawakan berbagai macam oleh-oleh untuk masyarakat di desa. Gadis pantai ditemani dengan Mardinah berangkat ke desa. Di desa mereka disambut oleh seluruh warga desa, semuanya bergembira menyambut kedatangan salah satu orang dari mereka yang kini menjadi istri pembesar. Karena tak tahan tinggal di kampung Mardinah pun kembali ke kota.

Semua hingar bingar yang terjadi, berbalik 180 derajat, ketika gadis pantai menyadari bahwa seseorang yang memijatinya, Mak Pin, adalah laki-laki yang merupakan saudara Mardinah bernama Mardikun. Semuanya semakin aneh saat Mardinah kembali dengan membawa banyak pengawal, dan berkata bahwa ia diutus Bendoro untuk membawa Gadis Pantai kembali, namun Mardinah tidak mampu membuktikan bahwa ia diutus. Karena curiga, Bapak Gadis Pantai tidak langsung mengijinkan Gadis Pantai pulang. Dan benar saja, kecurigaan bapak bukan tanpa sebab. Mardinah terbukti datang untuk membunuh Gadis Pantai ia mengakui bahwa ia disuruh untuk membunuh Gadis Pantai oleh majikannya di Demak dengan imbalan dijadikan istri ke-5 Majikan Demak.


Mengetahui hal itu warga desa marah dan menjadikannya bahan tertawaan dengan menjodohkan Mardinah dengan Si Doel pendongeng di kampung tersebut yang tidak waras. Mereka memaksa keduanya menikah, Mardinah tidak menolak dan Si Doel juga tampak menjadi normal setelah dipasangkan dengan Mardinah. Setelah beberapa hari di kampung, Gadis Pantai memutuskan kembali ke kota. Ia tak disambut sebegitu rupa oleh Bendoro, dan tidak ditanyai macam-macam, hal ini membuatnya tenang karena ia dapat menyelamatkan kampung orang tuanya yang telah menghilangkan pengawal Mardinah, begitu pula dengan Mardinah yang tak kembali, Bendoro sama sekali tak menanyakannya. Suatu hari Gadis Pantai merasa dirinya mengandung, hal ini telah dibuktikan oleh paraji Bendoro sendiri.

Usia kandungannya kini telah menginjak 9 bulan, ia sudah tak sabar ingin melihat anaknya. Hal yang ditunggu-tunggunya pun tiba. Gadis Pantai melahirkan seorang bayi perempuan dibantu oleh dukun beranak kepercayaan Bendoro. Namun bagi kalangan priyayi anak perempuan kurang diharapkan. Karenanya, sehabis melahirkan Bendoro sama sekali tak peduli keadaannya dan bayinya. Hal itu membuatnya tersinggung, mengapa suaminya tak ingin melihat anaknya sendiri. Tiga bulan kemudian Bapak Gadis Pantai datang menengok, ia datang diperintahkan oleh Bendoro. Namun setelah menghadap Bendoro muka Bapak menjadi murung dan menyuruh Gadis Pantai untuk segera membereskan barang-barangnya. Ia menjelaskan bahwa Gadis Pantai telah dicerai dan diminta untuk segera pergi. Ia tidak dipebolehkan membawa anaknya bersamanya. Ia yang tak terima berusaha menentangnya namun apa daya, ia malah diusir. Setelah mendapat janji dari para pelayan bahwa mereka akan merawat anaknya dengan baik, iapun pergi bersama bapaknya.

Dalam perjalanan pulang, Gadis Pantai yang telah menjadi Mas Nganten pun merasa malu, dan enggan untuk pulang ke kampungnya. Ia berpamitan dengan orang tuanya untuk pergi ke kota mencari pelayan tua yang selalu membantunya dulu. Ia meminta orang tuanya untuk melupakannya dan merasa tak memiliki anak sepertinya. 

Roman karya Pramoedya Ananta Toer yang belum terselesaikan ini bertema kesenjangan sosial dengan latar waktu yaitu pada era penjajahan sehingga suasananya begitu mencekam. Latar tempat yang digunakan di Kampung Nelayan dan Kota. Tokoh utama pada kisah ini adalah Gadis Pantai, Bendoro, Pelayan Tua, Mardinah, dan Orang Tua Gadis Pantai. Alur cerita ini maju dan mengandung pesan yang sangat bermakna, tentang kekejaman pada perbedaan kelas dan feodalisme Jawa dan hilangnya rasa kemanusiaan terhalang kelas sosial. Ia sampaikan begitu terbuka pada buku ini tentang ketidaksetujuannya terhadap kesenjangan sosial tersebut. 

Pada segi bahasa yang digunakan dalam buku ini menggunakan Bahasa Indonesia yang lawas sesuai dengan pengarangnya yang hidup pada era tersebut. Sehingga tidak mudah dipahami terutama pada generasi muda saat ini. Pada segi cerita, sangat bagus dan lugas, sehingga pesan yang didalamnya dapat tersampaikan pada pembacanya. 

Bagian yang membuat saya kurang setuju adalah Pram hanya berpihak pada satu sisi dalam buku ini, ia hanya berpihak pada pihak yang tertindas, Gadis Pantai tanpa memberikan alasan atau cerita pada pihak Penguasa, Bendoro. Sehingga pada buku ini kita hanya dapat menangkap bahwa Penguasa bertindak semena-mena tanpa adanya pendapat dari pihak Penguasa mengapa ia melakukan dan bagaimana perasaannya. Buku ini menimbulkan kebencian pembaca terhadap pihak Bendoro. Namun pengarang cerita dapat mengemasnya dengan bagus, sehingga meskipun mengangkat tentang kesenjangan sosial, tidak menimbulkan perlawanan massal. Roman ini mengajakkan pada kita untuk selalu berpihak pada kebenaran dan keadilan serta menjunjung tinggi rasa kemanusiaan tanpa memandang perbedaan kelas sosial.
             
Diulas oleh :
Dianeera Mahadewi
VIII.9 / 09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar