Para Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer: Kelamnya Indonesia Pada Masa Lalu, Karya Pramoedya Ananta Toer
Judul: “Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer”
Pengarang: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun terbit: Cetakan Ketigabelas, Juni 2018
Tebal buku: 248 halaman
Novel
Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer merupakan salah satu karya dari
Pramoedya Ananta Toer yang juga merupakan novel kelimanya yang diterbitkan oleh
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Deperti beberapa novel Pramoedya yang lain,
novel ini menunjukkan beberapa kekelaman Indonesia pada masa lalu. Buku ini
menceritakan tentang susahnya kehidupan para perawan Indonesia di masa
penjajahan jepang yang dijadikan budak pemuas nafsu oleh para serdadu Jepang.
Novel ini memiliki 8 bab yang semuanya berisi tentang kesedihan, kekelaman, dan
menakutkannya Bangsa Indonesia pada masa penjajahan khususnya pada masa
penjajahan Jepang.
Tahun
1943-1945 pada masa Perang Dunia II dan juga masa penjajahan jepang ke Indoesia
menyebabkan keterpurukan dan kesengsaraan pada para warga Indonesia makin
bertambah. Kerja paksa (romusha)
menjadi salah satu penyebabnya. Tak hanya para orang dewasa yang menderita
karena hal itu, para pemuda di Indonesia khususnya para perawan remaja yang
masih berumur kisaran muda . Akan tetapi, para pemerintah Dai Nippon sendiri memberi sayup-sayup akan menyekolahkan para
perawan remaja dari Indonesia ke Tokyo, Jepang dan Shonanto, Singapura. Banyak
para perawan yang diambil langsung dari
tangan orang tua mereka ada yang memang karena paksaan jepang yang akan
memberikan hukuman berat jika para orang tua tidak memberikan para putrinya
yang masih remaja dan perawan, dan juga ada yang dengan bahagia menyerahkan
putrinya karena mereka benar-benar percaya dengan janji manis tersebut. Desas-desus
tersebut menyebar bukan dari Osamu Serei (Surat
Negara), melainkan dari mulut ke mulut yang tentu saja dengan cepat akan
menyebar ke semua kalangan masyarakat.
Pramoedya
juga menjelaskan beberapa perawan dari beberapa kota yang dapat ia sebutkan
seperti, Rr.S., dari Kampung Macanan, Prambanan, M., dari Kecamatan Mejaba,
Kudus, A, dari Losari Timur, Brebes. Banyak para perawan yang mati dalam
penderitaan pada saat pengangkutan maupun tidak. Penderitaan tersebut tak hanya
satu, tapi bermacam-macam. Dan sungguh sungguh tidak manusiawi, kecuali bagi
para serdadu Jepang. Setelah mereka mengetahui bahwa Jepang telah menyerah,
mereka sangat ingin untuk pulang kembali ke kampung halaman. Akan tetapi, beban
moral yang berat karena pengalaman yang buruk menjadi salah satu pengambat.
Selain mereka yang tinggal disana, ada beberapa perawan yang berhasil lolos dan
pulang ke kampug halaman dengan selamat. Salah satu dari mereka pulang dengan
cara yaitu pamannya yang menjadi perajurit sekutu menemukannya dan membawanya
kembali ke Jawa. Meskipun sebagian besar orang Jepang adalah orang yang kejam,
ada beberapa warga jepang yang baik dan ikhlas membantu masyarakat Indonesia.
Contohnya saja Laksmana Maeda yang sagat berjasa dalam membantu kemerdekaan
Indonesia.
Dilepas
dari kandang yang terbakar, itulah perumpamaan yang cocok bagi para perawan
yang mendengar kkalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Tetapi beban untuk pulang
dan lamanya waktu yang telah berjalan tersebut lah yang membuat mereka seperti
orang buangan, bahkan mungkin keluarganya sudah melupakannya dan menganggapnya
mati. Pada wawancara Sutikno W.S. dengan A.T. Kadir, 1978 A.T. Kadir pernah
sempat bertemu dengan Sukini pada saat ia masih bocah. Rombongan gadis itu
ditempatkan di hotel militer di Makassar. Lalu, wawancara pada Sukarno
Martodiharjo, 1978 Setrlah Kapal Suramaru no. 36 berlabuh di Bangkok,
Singapura. Salah satu dari mereka mengemukakan bahwa mereka hanyalah para
pemuas nafsu para serdadu Nippon. Bukan hanya gadis dari Indonesia saja yang dikorbankan,
melainkan juga gadis-gadis dari Filipina dan dan Jepang sendiri juga mengalami
hal yang sama. Setelah Jepang bertekuk lutut, gadis-gadis itu laksana anak ayam
kehilangan induk, ingin pulang namun tak tahu jalan, dan tak ada uang.
Pramoedya
Ananta Toer pun memiliki pengalamannya sendiri. Pada 16 Agustus 1969, ia
beserta 800 orang yang lain meninggalkan pelabuhan Sodong ke Teluk Kayeli, dan
disitu ia mendengar cerita dari Rodius Susanto. Disana ia telah bertemu dengan
beberapa warga disana, sekilas ia melihat seorang wanita yang terlihat seperti
orang yang bukan asli sana, tampangnya berbeda dan benar saja setelah ia
berbincang bincang dengan orang tersebut, ia bukanla orang asli situ, tapi
merupakan orang asli Jawa. Umurnya kisaran 50 tahun sekilas, ia berpikir bahwa
orang itu merupakan wanita buangan pada masa penjajahan Jepang, dan benar saja
ia adalah salah satu dari sekian banyak buangan pada masa penjajahan Jepang.
Tidak hanya ia seorang, banyak para buangan yang hidup dan besar disana karena
tak tau arah untuk pulang.
Setelah
2 bulan disana, ia mengenal Siti F. ia berbeda dari orang-orang Alfuru (suku
asli pulau tersebut) dan ia sebenarnya merupakan salah satu dari
buangan-buangan yang hidup di sana. Sewaktu waktu Saroni berbincang dengan Siti
F. Disana Siti F. mulai menceritakan dari waktu saat orang tuanya melepaskannya
ke cengkraman Jepang, penderitaannya di tangan serdadu Jepang, sampai ia yang
terbuang besar di pulau ini. Disana ia mendapat data bahwa Siti F. lahir pada 1927,
anak Asisten Wedana Subang, Singadikarta. Dan ia sekarang hidup dengan kedua
anaknya yang ditinggal ayah tercintanya meninggal.
Dan
yang terakhir, buku ini tidak akan menarik jika bab terakhir ini dihilangkan,
Pencarian Ibu Mulyati dari Klaten yang terdampar di Pulau Buru. Bab inilah yag
membuat kita akan selalu penasaran akan kelanjutannya, ya cerita tentang Ibu
Mulyati. Pramoedya berhasil meracik novel ini menjadi sangat baik, dan membuat
penasaran para pembaca. Tidak hanya dari sudut pandang itu, Pramoedya berhasil
membuat para pembaca tertarik emosinya dan dap mengingat bahwa kebahagiaan kita
di hari ini takkan ada tanpa penderitaan para pendahulu.
Kekurangan
dari buku ini adalah, adanya kata-kata langsung yang terlihat terlalu vulgar
dan adanya percakapan yang menggunakan Bahasa Buru yang tidak diterjemahkan
yang membuat novel ini sulit untuk dibaca. Dan kesulitan untuk memahami bacaan
dalam novel ini yang membuat novel ini sendiri sulit untuk dipahami sekali baca
untuk sebagian besar pembaca bahkan, beberapa pembaca pun sulit untuk memahami
bacaan tersebut dengan 2 kali bacaan, terkadang mereka membutuhkan waktu yang
lebih banyak untuk memahaminya. Buku ini juga menceritakan tentang kekelaman
Indonesia di masa dahulu yang membuat kita sendiri sulit untuk melupakan sisi
buruk dari negara kita yang tercinta ini.
Oleh: Tualang Noer Carstenza, VIII.9/22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar