Daftar Mata Pelajaran

Selasa, 18 September 2018

Para Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer: Kelamnya Indonesia Pada Masa Lalu, Karya Pramoedya Ananta Toer


Para Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer: Kelamnya Indonesia Pada Masa Lalu, Karya Pramoedya Ananta Toer








Judul: “Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer”
Pengarang: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun terbit: Cetakan Ketigabelas, Juni 2018
Tebal buku: 248 halaman

            Novel Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer merupakan salah satu karya dari Pramoedya Ananta Toer yang juga merupakan novel kelimanya yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Deperti beberapa novel Pramoedya yang lain, novel ini menunjukkan beberapa kekelaman Indonesia pada masa lalu. Buku ini menceritakan tentang susahnya kehidupan para perawan Indonesia di masa penjajahan jepang yang dijadikan budak pemuas nafsu oleh para serdadu Jepang. Novel ini memiliki 8 bab yang semuanya berisi tentang kesedihan, kekelaman, dan menakutkannya Bangsa Indonesia pada masa penjajahan khususnya pada masa penjajahan Jepang.

            Tahun 1943-1945 pada masa Perang Dunia II dan juga masa penjajahan jepang ke Indoesia menyebabkan keterpurukan dan kesengsaraan pada para warga Indonesia makin bertambah. Kerja paksa (romusha) menjadi salah satu penyebabnya. Tak hanya para orang dewasa yang menderita karena hal itu, para pemuda di Indonesia khususnya para perawan remaja yang masih berumur kisaran muda . Akan tetapi, para pemerintah Dai Nippon sendiri memberi sayup-sayup akan menyekolahkan para perawan remaja dari Indonesia ke Tokyo, Jepang dan Shonanto, Singapura. Banyak para perawan yang diambil  langsung dari tangan orang tua mereka ada yang memang karena paksaan jepang yang akan memberikan hukuman berat jika para orang tua tidak memberikan para putrinya yang masih remaja dan perawan, dan juga ada yang dengan bahagia menyerahkan putrinya karena mereka benar-benar percaya dengan janji manis tersebut. Desas-desus tersebut menyebar bukan dari Osamu Serei (Surat Negara), melainkan dari mulut ke mulut yang tentu saja dengan cepat akan menyebar ke semua kalangan masyarakat.

            Pramoedya juga menjelaskan beberapa perawan dari beberapa kota yang dapat ia sebutkan seperti, Rr.S., dari Kampung Macanan, Prambanan, M., dari Kecamatan Mejaba, Kudus, A, dari Losari Timur, Brebes. Banyak para perawan yang mati dalam penderitaan pada saat pengangkutan maupun tidak. Penderitaan tersebut tak hanya satu, tapi bermacam-macam. Dan sungguh sungguh tidak manusiawi, kecuali bagi para serdadu Jepang. Setelah mereka mengetahui bahwa Jepang telah menyerah, mereka sangat ingin untuk pulang kembali ke kampung halaman. Akan tetapi, beban moral yang berat karena pengalaman yang buruk menjadi salah satu pengambat. Selain mereka yang tinggal disana, ada beberapa perawan yang berhasil lolos dan pulang ke kampug halaman dengan selamat. Salah satu dari mereka pulang dengan cara yaitu pamannya yang menjadi perajurit sekutu menemukannya dan membawanya kembali ke Jawa. Meskipun sebagian besar orang Jepang adalah orang yang kejam, ada beberapa warga jepang yang baik dan ikhlas membantu masyarakat Indonesia. Contohnya saja Laksmana Maeda yang sagat berjasa dalam membantu kemerdekaan Indonesia.

            Dilepas dari kandang yang terbakar, itulah perumpamaan yang cocok bagi para perawan yang mendengar kkalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Tetapi beban untuk pulang dan lamanya waktu yang telah berjalan tersebut lah yang membuat mereka seperti orang buangan, bahkan mungkin keluarganya sudah melupakannya dan menganggapnya mati. Pada wawancara Sutikno W.S. dengan A.T. Kadir, 1978 A.T. Kadir pernah sempat bertemu dengan Sukini pada saat ia masih bocah. Rombongan gadis itu ditempatkan di hotel militer di Makassar. Lalu, wawancara pada Sukarno Martodiharjo, 1978 Setrlah Kapal Suramaru no. 36 berlabuh di Bangkok, Singapura. Salah satu dari mereka mengemukakan bahwa mereka hanyalah para pemuas nafsu para serdadu Nippon. Bukan hanya gadis dari Indonesia saja yang dikorbankan, melainkan juga gadis-gadis dari Filipina dan dan Jepang sendiri juga mengalami hal yang sama. Setelah Jepang bertekuk lutut, gadis-gadis itu laksana anak ayam kehilangan induk, ingin pulang namun tak tahu jalan, dan tak ada uang.

            Pramoedya Ananta Toer pun memiliki pengalamannya sendiri. Pada 16 Agustus 1969, ia beserta 800 orang yang lain meninggalkan pelabuhan Sodong ke Teluk Kayeli, dan disitu ia mendengar cerita dari Rodius Susanto. Disana ia telah bertemu dengan beberapa warga disana, sekilas ia melihat seorang wanita yang terlihat seperti orang yang bukan asli sana, tampangnya berbeda dan benar saja setelah ia berbincang bincang dengan orang tersebut, ia bukanla orang asli situ, tapi merupakan orang asli Jawa. Umurnya kisaran 50 tahun sekilas, ia berpikir bahwa orang itu merupakan wanita buangan pada masa penjajahan Jepang, dan benar saja ia adalah salah satu dari sekian banyak buangan pada masa penjajahan Jepang. Tidak hanya ia seorang, banyak para buangan yang hidup dan besar disana karena tak tau arah untuk pulang.

            Setelah 2 bulan disana, ia mengenal Siti F. ia berbeda dari orang-orang Alfuru (suku asli pulau tersebut) dan ia sebenarnya merupakan salah satu dari buangan-buangan yang hidup di sana. Sewaktu waktu Saroni berbincang dengan Siti F. Disana Siti F. mulai menceritakan dari waktu saat orang tuanya melepaskannya ke cengkraman Jepang, penderitaannya di tangan serdadu Jepang, sampai ia yang terbuang besar di pulau ini. Disana ia mendapat data bahwa Siti F. lahir pada 1927, anak Asisten Wedana Subang, Singadikarta. Dan ia sekarang hidup dengan kedua anaknya yang ditinggal ayah tercintanya meninggal.

            Dan yang terakhir, buku ini tidak akan menarik jika bab terakhir ini dihilangkan, Pencarian Ibu Mulyati dari Klaten yang terdampar di Pulau Buru. Bab inilah yag membuat kita akan selalu penasaran akan kelanjutannya, ya cerita tentang Ibu Mulyati. Pramoedya berhasil meracik novel ini menjadi sangat baik, dan membuat penasaran para pembaca. Tidak hanya dari sudut pandang itu, Pramoedya berhasil membuat para pembaca tertarik emosinya dan dap mengingat bahwa kebahagiaan kita di hari ini takkan ada tanpa penderitaan para pendahulu.

            Kekurangan dari buku ini adalah, adanya kata-kata langsung yang terlihat terlalu vulgar dan adanya percakapan yang menggunakan Bahasa Buru yang tidak diterjemahkan yang membuat novel ini sulit untuk dibaca. Dan kesulitan untuk memahami bacaan dalam novel ini yang membuat novel ini sendiri sulit untuk dipahami sekali baca untuk sebagian besar pembaca bahkan, beberapa pembaca pun sulit untuk memahami bacaan tersebut dengan 2 kali bacaan, terkadang mereka membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk memahaminya. Buku ini juga menceritakan tentang kekelaman Indonesia di masa dahulu yang membuat kita sendiri sulit untuk melupakan sisi buruk dari negara kita yang tercinta ini.


Oleh: Tualang Noer Carstenza, VIII.9/22
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar