Judul : Gadis Pantai
Pengarang : Pramoedya
Ananta Toer
Penerbit :
Lentera Dipantara
Alamat penerbit : Multi Karya II/26 Utan Kayu, Jakarta Timur
Tahun terbit : 2003
Tebal buku : 280 halaman
Ukuran buku : 13 x 20 cm
Gadis Pantai merupakan salah
satu buku karangan Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis legendaris kelahiran tahun 1925 Blora, Jawa Tengah, Indonesia. Gadis Pantai merupakan sebuah trilogi roman
yang belum selesai. Buku ini merupakan buku atau bagian pertama dari roman Gadis Pantai. Masih terdapat 2 buku
lanjutan Gadis Pantai yang dimusnahkan oleh vandalisme angkatan darat masa itu.
Buku Gadis Pantai seri pertama ini terselamatkan keberadaannya berkat pihak
Universitas Nasional Australia, Canberra yang mendokumentasikan buku Gadis
Pantai ini. Melalui tesis kepengarangan Pramoedya Ananta Toer ditengah
kebobrokan budaya saat itu yang diambil salah seorang mahasiswi bernama Savtri P.
Schere juga, roman Gadis Pantai dapat terbit saat ini. Roman Gadis Pantai ini
sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa seperti Bahasa Inggris, Belanda,
Spayol, Malaysia, Yunani, Jerman,
Portugal, Polandia, dan Rusia.
Buku Gadis Pantai merupakan sebuah
bentuk pengungkapan Pramoedya Ananta Toer mengenai feodalisme Jawa yang sangat
tidak berperi kemanusiaan dan tidak memiliki adab. Sebuah ungkapan tentang
kejadian yang menimpa nenek dari Pramoedya Ananta Toer sendiri.
Gadis Pantai, gadis 14 tahun bertubuh mungil yang menjadi bunga di kampung nelayan, Rembang, Jawa Tengah. Setiap harinya diisi dengan deburan ombak tenang, kadang riuh. Suatu ketika, Gadis Pantai harus menginggalkan tempat kelahirannya untuk dipinang seorang pembesar di Rembang Kota. Gadis Pantai dinikahkan dengan sebilah keris yang menjadi perwakilan priyayinya, bendoronya, calon suaminya. Ia adalah seseorang yang tidak pernah Gadis Pantai lihat sebelumnya. Sejak saat itu, kehidupannya yang baru dimulai.
Gadis Pantai akan tinggal di gedung yang
besar, mengenakan kain sutera berkualitas, dan menjadi seorang Bendoro Putri. Kehidupan
dilaluinya di gedung besar yang jauh lebih kokoh daripada gubuknya di kampung.
Sebutannya Mas Nganten. Di gedung ini, ia dipanggil Mas Nganten. Semua abdi di
rumah Bendoronya itu sangat sopan dan hormat dalam membantu Mas Nganten
beradaptasi.
Ingin rasanya Mas Nganten menjadikan
mereka semua teman, setidaknya teman berbincang. Para abdi terlalu menghormati
Mas Nganten, sesuai tradisi yang diberlakukan kepada wanita utama. Ada satu
abdi yang sangat dekat dengan Mas Nganten ia biasa dipanggil mBok. Suatu malam,
Bendoro menemui Mas Nganten untuk pertama kalinya. Mas Nganten sangat gugup
tidak karuan. Ia sangat gelisah. Di lihatnya suaminya itu tinggi, kurus,
langsat. Membuat hati para kaum hawa terpikat. Sekedar batas pengenalan mereka
berbincang. Keesokan harinya, Mas Nganten sudah memulai untuk menjadi wanita
utama yang sesungguhnya. Mengikuti sholat setiap pagi di sebuah ruang besar
kedap suara, atmosfer mencekam, mengikuti setiap kata sholawat yang diucapkan
Bendoro. Mulai saat itu juga, Benodoro menyuruh Mas Nganten untuk belajar
mengaji, membatik, membaca dan juga menulis. Dengan perintah untuk tidak lagi
menjadi hina seperti orang kebanyakan ( orang berkasta rendah ).
Mas Nganten dan mBok semakin dekat
setiap harinya. Setiap mau tidur mBok selalu mendongengi Mas Nganten. Entah itu
cerita kepahlawanan, maupun pengalaman hidup Si mBok. Mas Nganten saat ini
dilanda rasa rindu terhadap Bendoro. Memang saat ini Bendoro jarang datang
dengan alasan pekerjaan. Hanya mBok lah tempat Mas Nganten bercerita.
Suatu saat, ketika Mas Nganten dan mBok
saling menyingung soal anak. Si mBok menceritakan tentang kekejaman para
priyayi terhadap istri percobaan mereka. Si mBok perlahan mulai memberitahu Mas
Nganten bahwa ia adalah abdi Bendoro. Si mBok menceritakan kekejaman di dalam
bangunan kokoh ini. Mas Nganten masih belum mengerti akan hal itu, walaupun
setahun lebih ia tinggal di bangunan kokoh tersebut. Semakin bertambah
pengetahuan Mas Nganten, dirasanya kemampuan mBok untuk menjawab segala
keingintahuannya berkurang. Sampai suatu hari, uang belanjaan Mas Nganten
hilang. Mas Nganten sanagat takut untuk menghadap Bendoro. Mas Nganten meminta
saran dari mBok dan meminta ditemani ke hadapan Bendoro. Merekapun menghadap
Bendoro. Karena dianggap melebih batas,
mBok pun diusir. Si mBok pergi, Mas Nganten menangis. Ia tidak rela.
Diutusnya oleh Bendoro seorang abdi baru
dari Demak, Mardinah namanya. Mardinah merupakan kerabat jauh Bendoro, oleh
karena itu, ia selalu bersikap tidak sopan kepada Mas Nganten, juga selalu
merendahkan Mas Nganten beserta kampungnya. Suatu ketika, Mas Nganten meminta
izin kepada Bendoro untuk mengunjungi kampungnya, menumui Bapak dan Emaknya, ia
diperbolehkan, namun harus ditemani Mardinah. Mas Nganten terbebani sebenarnya,
namun ini semua demi Emak dan Bapaknya.
Sesampainya di kampung, Mas Nganten dan
Mardinah disambut meriah oleh semua orang. Mereka mengadakan pesta untuk
kedatangan orang kota itu. Keesokan harinya, terdapat kerusuhan yang disebabkan
oleh adanya mata-mata dari Demak, Mardikun, yang menyamar. Tak lama setelah
itu, Mardinah menyuruh Mas Nganten pulang dengan alibi disuruh Bendoro, namun
gerak-geriknya mencurigakan. Mas Nganten menolak. Tiba-tiba saja, keesokan
harinya waktu malam, terjadi kerusuhan yang menyebabkan pengawal Mardinah mati.
Ketahuan sudah niat Mardinah untuk membunuh Mas Nganten saat perjalanan pulang.
Bapak dan orang kampung yang menanganinya.
Beberapa hari setelahnya, Mas Nganten
pulang tanpa Mardinah. Mardinah ditinggal di kampung. Mas Nganten mulai
mersakan gejala-gejala aneh semenjak pulang dari kampungnya. Ternyata Mas
Nganten sedang mengandung anak Bendoro. Btetapa tulus Mas Nganten merawat janin
dalam kandungannya itu selama sembilan bulan. Sembilan bulan berlalu, seorang
anak perempuan dilahirkan Mas Nganten. Dipersembahkannya anak itu kepada
Bendoro. Keesokannya, Bapak datang dari kampung. Ingin membawa Mas Nganten
pulang. Mas Nganten bingung dan histeris ketika Bapaknya berkata bahwa ia telah
diceraikan. Mas Nganten tidak rela jika ia harus berpisah dengan anaknya. Namun
apa daya, ia tidak memiliki kuasa. Bayi itu sah menjadi milik Bendoro, yang
selanjutnya menjadi bendoro baru. Gadis Pantai pun kembali ke kampung bersama
Bapaknya. Namun, sesampainya di gerbang kampung, Mas Nganten meminta maaf
kepada Bapaknya. Ia berbalik naik dokar. Selama satu bulan, ia mengintip
anaknya dari celah gedung megah itu. Akhirnya pergilah Gadis Pantai ke daerah
selatan. Ia tidak pernah terlihat lagi mulai saat itu, baik di kampung, atau di
kota.
Kisah Gadis Pantai bertemakan tentang
feodalisme. Kebobrokan yang terjadi di
daerah Jawa. Bendoro sebagai watak antagonis memiliki watak yang kejam
sebenarnya, namun tertutupi oleh sikap manisnya di awal. Gadis Pantai sebaga tokoh utama memiliki watak yang lemah lembut. Bapak dan
Emak Gadis Pantai memiliki watak yang ambisius, terutama untuk menjadikan Gadis
Pantai seorang yang berkedudukan. Si mBok memiliki sikap yang bijaksana.
Sedangkan Mardinah memiliki watak yang sangat berambisi untuk menjadi wanita
utama. Setiap tokoh memiliki watak yang perbedaannya cukup signifikan dan kuat.
Alurnya maju, tidak ada alur mundur. Suasana yang tergambar kebanyakan adalah
suasana yang sedih dan juga mencekam. Latar tempat yang diambil hanya sekitaran
gedung Bendoro dan juga kampung nelayan. Maksud atau amanat dari buku ini
sangatlah menusuk hati para petinggi Jawa zaman itu maupun pelaku feodalisme
saat ini. Peringatan keras tentang pengglongan kasta juga ada di dalam roman
berjudul Gadis Pantai.
Buku Gadis Pantai ini sangat memukau.
Walaupun kisah ini telah dibuat berpuluh-puluh tahun yang lalu, bahasanya sudah
diterjemahkan ke dalam ejaan baru, sehingga mempermudah pembaca untuk memahami
isi buku. Cetakan tulisannya jelas. Konflik yang terjadi pun sederhana namun berkesan. Penggambaran
kejadiannya sangat alami, sehingga memnbuat pembaca lebih mudah untuk
berimajinasi. Kuantitas ceritanya juga sangat ideal untuk dibaca. Tiap tokohnya pun mampu membawa
sifat-sifat orang zaman itu, sehingga terasa lebih nyata. Buku Gadis Pantai juga mudah didapatkan di toko buku.
Sayangnya, bahasa yang digunakan terlalu
vulgar, sehingga dapat membuat pembacanya merasa tidak nyaman. Kata-kata yang
digunakan juga bersifat multitafsir. Seperti kata sahaya yang dapat bermakna
saya, iya, dan juga abdi. Di dalam roman Gadis Pantai juga terdapat banyak
sekali ungkapan-ungkapan dalam lirik dongeng yang sulit untuk dimengerti.
Gambar ilustrasi buku juga kurang menarik karena terlihat kuno. Pada kalimat
langsung, tidak semua diberi kalimat pengiring, sehingga antara dialog tokoh
satu dengan tokoh yang lain sulit untuk dibedakan. Selain itu, bahasa yang
digunakan masih ada yang tidak baku, contohnya saja matari yang jika dibakukan
adalah matahari. Terdapat juga istilah zaman Belanda yang digunakan, sehingga membuat
pembaca harus lebih pandai dalam mengkorelasikan istilah tersebut dengan alur
cerita.
Diulas oleh :
Atya Danastri Masantika
VIII.9 / 05
cippppppp........
BalasHapusSiipp👍
BalasHapusgood job
BalasHapusNice review....
BalasHapusKereen bangeet mbak tya...sukses terus ya
BalasHapus👍👍👍
BalasHapusTerus berlatih mb tya
BalasHapusGood job
BalasHapus👍
BalasHapusmakasih mb. tya
BalasHapusdpt novel baru aq
Ulasan yg bagus.. makasih ya mbak tya..
BalasHapusUlasannya penuh makna ttg seorang gadis pantai yg penuh perjuangan.... menggambarkan perjuangan seorang wanita di masa feodalism.👍👍👍👍
BalasHapusMantap...
BalasHapusUlasannya bagus, tingkatkan terus ya.
BalasHapusReviewnya oke mbak Atya.. Sukses yaa
BalasHapus