Daftar Mata Pelajaran

Selasa, 18 September 2018

Gadis Pantai : Neraka di Gedung Tengah Kota - karya Pramoedya Ananta Toer






Judul                          : Gadis Pantai
Pengarang                 : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit                     : Lentera Dipantara
Alamat penerbit        : Multi Karya II/26 Utan Kayu, Jakarta Timur
Tahun terbit              : 2003
Tebal buku                : 280 halaman
Ukuran buku             : 13 x 20 cm

                      Gadis Pantai merupakan salah satu buku karangan Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis legendaris kelahiran  tahun 1925 Blora, Jawa Tengah, Indonesia. Gadis Pantai merupakan sebuah trilogi roman yang belum selesai. Buku ini merupakan buku atau bagian pertama dari roman Gadis Pantai. Masih terdapat  2 buku lanjutan Gadis Pantai yang dimusnahkan oleh vandalisme angkatan darat masa itu. Buku Gadis Pantai seri pertama ini terselamatkan keberadaannya berkat pihak Universitas Nasional Australia, Canberra yang mendokumentasikan buku Gadis Pantai ini. Melalui tesis kepengarangan Pramoedya Ananta Toer ditengah kebobrokan budaya saat itu yang diambil salah seorang mahasiswi bernama Savtri P. Schere juga, roman Gadis Pantai dapat terbit saat ini. Roman Gadis Pantai ini sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa seperti Bahasa Inggris, Belanda, Spayol, Malaysia, Yunani, Jerman,  Portugal, Polandia, dan Rusia.

Buku Gadis Pantai merupakan sebuah bentuk pengungkapan Pramoedya Ananta Toer mengenai feodalisme Jawa yang sangat tidak berperi kemanusiaan dan tidak memiliki adab. Sebuah ungkapan tentang kejadian yang menimpa nenek dari Pramoedya Ananta Toer sendiri.

     Gadis Pantai, gadis 14 tahun bertubuh mungil yang menjadi bunga di kampung nelayan, Rembang, Jawa Tengah. Setiap harinya diisi dengan deburan ombak tenang, kadang riuh. Suatu ketika, Gadis Pantai harus menginggalkan tempat kelahirannya untuk dipinang seorang pembesar di Rembang Kota. Gadis Pantai dinikahkan dengan sebilah keris yang menjadi perwakilan priyayinya, bendoronya, calon suaminya. Ia adalah seseorang yang tidak pernah Gadis Pantai lihat sebelumnya. Sejak saat itu, kehidupannya yang baru dimulai.

Gadis Pantai akan tinggal di gedung yang besar, mengenakan kain sutera berkualitas, dan menjadi seorang Bendoro Putri. Kehidupan dilaluinya di gedung besar yang jauh lebih kokoh daripada gubuknya di kampung. Sebutannya Mas Nganten. Di gedung ini, ia dipanggil Mas Nganten. Semua abdi di rumah Bendoronya itu sangat sopan dan hormat dalam membantu Mas Nganten beradaptasi.  

 Ingin rasanya Mas Nganten menjadikan mereka semua teman, setidaknya teman berbincang. Para abdi terlalu menghormati Mas Nganten, sesuai tradisi yang diberlakukan kepada wanita utama. Ada satu abdi yang sangat dekat dengan Mas Nganten ia biasa dipanggil mBok. Suatu malam, Bendoro menemui Mas Nganten untuk pertama kalinya. Mas Nganten sangat gugup tidak karuan. Ia sangat gelisah. Di lihatnya suaminya itu tinggi, kurus, langsat. Membuat hati para kaum hawa terpikat. Sekedar batas pengenalan mereka berbincang. Keesokan harinya, Mas Nganten sudah memulai untuk menjadi wanita utama yang sesungguhnya. Mengikuti sholat setiap pagi di sebuah ruang besar kedap suara, atmosfer mencekam, mengikuti setiap kata sholawat yang diucapkan Bendoro. Mulai saat itu juga, Benodoro menyuruh Mas Nganten untuk belajar mengaji, membatik, membaca dan juga menulis. Dengan perintah untuk tidak lagi menjadi hina seperti orang kebanyakan ( orang berkasta rendah ).

Mas Nganten dan mBok semakin dekat setiap harinya. Setiap mau tidur mBok selalu mendongengi Mas Nganten. Entah itu cerita kepahlawanan, maupun pengalaman hidup Si mBok. Mas Nganten saat ini dilanda rasa rindu terhadap Bendoro. Memang saat ini Bendoro jarang datang dengan alasan pekerjaan. Hanya mBok lah tempat Mas Nganten bercerita.

Suatu saat, ketika Mas Nganten dan mBok saling menyingung soal anak. Si mBok menceritakan tentang kekejaman para priyayi terhadap istri percobaan mereka. Si mBok perlahan mulai memberitahu Mas Nganten bahwa ia adalah abdi Bendoro. Si mBok menceritakan kekejaman di dalam bangunan kokoh ini. Mas Nganten masih belum mengerti akan hal itu, walaupun setahun lebih ia tinggal di bangunan kokoh tersebut. Semakin bertambah pengetahuan Mas Nganten, dirasanya kemampuan mBok untuk menjawab segala keingintahuannya berkurang. Sampai suatu hari, uang belanjaan Mas Nganten hilang. Mas Nganten sanagat takut untuk menghadap Bendoro. Mas Nganten meminta saran dari mBok dan meminta ditemani ke hadapan Bendoro. Merekapun menghadap Bendoro.  Karena dianggap melebih batas, mBok pun diusir. Si mBok pergi, Mas Nganten menangis. Ia tidak rela.

Diutusnya oleh Bendoro seorang abdi baru dari Demak, Mardinah namanya. Mardinah merupakan kerabat jauh Bendoro, oleh karena itu, ia selalu bersikap tidak sopan kepada Mas Nganten, juga selalu merendahkan Mas Nganten beserta kampungnya. Suatu ketika, Mas Nganten meminta izin kepada Bendoro untuk mengunjungi kampungnya, menumui Bapak dan Emaknya, ia diperbolehkan, namun harus ditemani Mardinah. Mas Nganten terbebani sebenarnya, namun ini semua demi Emak dan Bapaknya.

Sesampainya di kampung, Mas Nganten dan Mardinah disambut meriah oleh semua orang. Mereka mengadakan pesta untuk kedatangan orang kota itu. Keesokan harinya, terdapat kerusuhan yang disebabkan oleh adanya mata-mata dari Demak, Mardikun, yang menyamar. Tak lama setelah itu, Mardinah menyuruh Mas Nganten pulang dengan alibi disuruh Bendoro, namun gerak-geriknya mencurigakan. Mas Nganten menolak. Tiba-tiba saja, keesokan harinya waktu malam, terjadi kerusuhan yang menyebabkan pengawal Mardinah mati. Ketahuan sudah niat Mardinah untuk membunuh Mas Nganten saat perjalanan pulang. Bapak dan orang kampung yang menanganinya.

Beberapa hari setelahnya, Mas Nganten pulang tanpa Mardinah. Mardinah ditinggal di kampung. Mas Nganten mulai mersakan gejala-gejala aneh semenjak pulang dari kampungnya. Ternyata Mas Nganten sedang mengandung anak Bendoro. Btetapa tulus Mas Nganten merawat janin dalam kandungannya itu selama sembilan bulan. Sembilan bulan berlalu, seorang anak perempuan dilahirkan Mas Nganten. Dipersembahkannya anak itu kepada Bendoro. Keesokannya, Bapak datang dari kampung. Ingin membawa Mas Nganten pulang. Mas Nganten bingung dan histeris ketika Bapaknya berkata bahwa ia telah diceraikan. Mas Nganten tidak rela jika ia harus berpisah dengan anaknya. Namun apa daya, ia tidak memiliki kuasa. Bayi itu sah menjadi milik Bendoro, yang selanjutnya menjadi bendoro baru. Gadis Pantai pun kembali ke kampung bersama Bapaknya. Namun, sesampainya di gerbang kampung, Mas Nganten meminta maaf kepada Bapaknya. Ia berbalik naik dokar. Selama satu bulan, ia mengintip anaknya dari celah gedung megah itu. Akhirnya pergilah Gadis Pantai ke daerah selatan. Ia tidak pernah terlihat lagi mulai saat itu, baik di kampung, atau di kota.

Kisah Gadis Pantai bertemakan tentang feodalisme.  Kebobrokan yang terjadi di daerah Jawa. Bendoro sebagai watak antagonis memiliki watak yang kejam sebenarnya, namun tertutupi oleh sikap manisnya di awal.  Gadis Pantai sebaga tokoh utama  memiliki watak yang lemah lembut. Bapak dan Emak Gadis Pantai memiliki watak yang ambisius, terutama untuk menjadikan Gadis Pantai seorang yang berkedudukan. Si mBok memiliki sikap yang bijaksana. Sedangkan Mardinah memiliki watak yang sangat berambisi untuk menjadi wanita utama. Setiap tokoh memiliki watak yang perbedaannya cukup signifikan dan kuat. Alurnya maju, tidak ada alur mundur. Suasana yang tergambar kebanyakan adalah suasana yang sedih dan juga mencekam. Latar tempat yang diambil hanya sekitaran gedung Bendoro dan juga kampung nelayan. Maksud atau amanat dari buku ini sangatlah menusuk hati para petinggi Jawa zaman itu maupun pelaku feodalisme saat ini. Peringatan keras tentang pengglongan kasta juga ada di dalam roman berjudul Gadis Pantai.

Buku Gadis Pantai ini sangat memukau. Walaupun kisah ini telah dibuat berpuluh-puluh tahun yang lalu, bahasanya sudah diterjemahkan ke dalam ejaan baru, sehingga mempermudah pembaca untuk memahami isi buku. Cetakan tulisannya jelas. Konflik yang terjadi pun sederhana namun berkesan. Penggambaran kejadiannya sangat alami, sehingga memnbuat pembaca lebih mudah untuk berimajinasi. Kuantitas ceritanya juga sangat ideal  untuk dibaca. Tiap tokohnya pun mampu membawa sifat-sifat orang zaman itu, sehingga terasa lebih nyata. Buku Gadis Pantai juga mudah didapatkan di toko buku.

Sayangnya, bahasa yang digunakan terlalu vulgar, sehingga dapat membuat pembacanya merasa tidak nyaman. Kata-kata yang digunakan juga bersifat multitafsir. Seperti kata sahaya yang dapat bermakna saya, iya, dan juga abdi. Di dalam roman Gadis Pantai juga terdapat banyak sekali ungkapan-ungkapan dalam lirik dongeng yang sulit untuk dimengerti. Gambar ilustrasi buku juga kurang menarik karena terlihat kuno. Pada kalimat langsung, tidak semua diberi kalimat pengiring, sehingga antara dialog tokoh satu dengan tokoh yang lain sulit untuk dibedakan. Selain itu, bahasa yang digunakan masih ada yang tidak baku, contohnya saja matari yang jika dibakukan adalah matahari. Terdapat juga istilah zaman Belanda yang digunakan, sehingga membuat pembaca harus lebih pandai dalam mengkorelasikan istilah tersebut dengan alur cerita.


Diulas oleh :
Atya Danastri Masantika 
VIII.9 / 05





15 komentar: