Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tebal Buku : 100 Halaman.; 13x20 cm
Cetakan : 10, Desember 2015
ISBN 10 : 979-97312-10-5
ISBN 13 : 978-979-97312-1-0
Novel ini bercerita tentang sebuah negara makmur, Daha namanya. Kerajaan ini berada di bawah naungan Sri Baginda Raja Erlangga. Rakyatnya hidup makmur, berkecukupan, dan aman. Hingga suatu ketika ada penyakit merebak luas mengancam hidup orang banyak.
Daha terdiri dari berbagai dusun. salah saat adalah Dusun Girah. Di Dusun Girah, hidup seorang janda tua jahat, yang berprofesi sebagai tukang teluh hitam. Ia memiliki sifat pongah dan tak pernah puas. Semua lawan “politik”nya dibabat habis. Namun di samping sifatnya yang sangat jelek itu ia memiliki seorang anak perempuan, Ratna Manggali. Ia sangat cantik dan ramah, Calon Arang pun sangat menyayanginya. Namun tidak ada seorangpun yang berani mendekatinya karena takut diteluh oleh Calon Arang.
Calon Arang adalah seorang dukun pemuja Dewi Durga yang terkenal suka menganiaya sesama manusia, membunuh, merampas, dan menyakiti. Tidak ada satu pun penduduk Dusun Girah yang mau mendekati Calon Arang dan Ratna Manggali karena jika mereka salah perkataan atau tindakan sedikit saja mereka bisa kena teluh. Lama kelamaan Calon Arang marah karena merasa tak disukai oleh orang-orang disekitarnya. Calon Arang juga sudah sering mendengar dari para pengikutnya bahwa penduduk Girah selalu membicarakan Ratna Manggali. Selain itu tidak ada satu pun pemuda yang mau mendekati Ratna Manggali meskipun dia memiliki paras yang cantik. Tentu saja karena mereka takut pada Calon Arang.
Karena merasa kesal Calon Arang melakukan pemujaan untuk memanggil Dewi Durga. Calon Arang ingin meminta izin untuk menyebarkan penyakit yang
bisa membunuh banyak orang. Pemujaan itu berjalan dengan lancar dan Calon Arang mendapat persetujuan dari Dewi Durga atas keinginannya. Namun Calon Arang tidak diperbolehkan menyebarkan penyakit itu sampai ke daerah ibukota.
Selain Girah ada dusun bernama Lemah Tulis yang terletak di pegunungan Daha. Tempat tinggal seorang Empu yang berlawanan karakter dengan Calon Arang. Namanya Empu Baradah. Beliau memiliki seorang istri dan seorang anak perempuan bernama Wedawati. Sifat Wedawati sangat mirip dengan ayahnya. Suka menolong orang, ramah, dan selalu berusaha untuk membuat penduduk Lemah Tulis hidup dengan bahagia. Kehidupan mereka sangat bahagia, hingga suatu ketika istri Empu Baradah mengidap suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Empu Baradah sudah beberapa kali mencoba menyembuhkannya, namun tetap tidak berhasil. Sayangnya beberapa waktu setelah mengidap penyakit istrinya itu meninggal dunia.
Beberapa waktu setelah istrinya meninggal. Empu Baradah menikah lagi dan dikaruniai seorang anak laki-laki. Istri Empu Baradah sangat menyayangi anak laki-lakinya sehingga dia tidak mau kasih sayang Empu Baradah terbagi untuk anaknya dan Wedawati. Dia mencari berbagai cara untuk menyingkirkan Wedawati selama Empu Baradah pergi kepertapaan. Dia suka memarahi Wedawati karena alasan yang tidak jelas sagar Wedawati merasa tidak betah tinggal di rumah. Akhirnya, karena tidak tahan dengan perlakuan ibu tirinya, Wedawati pun memutuskan untuk pergi dari asrama.
Sementara itu Calon Arang dan para pengikutnya sedang berbahagia di Girah. Malam ini Calon Arang dan para pengikutnya akan menyebarkan penyakit itu ke seluruh Girah dan daerah diluar ibukota. Calon Arang berjalan di tengah-tengah para pengikutnya yang sedang menari-nari mengiringi mantra Calon Arang dari kitab ditangannya. Tidak lama lagi mereka akan mengadakan pesta atas kematian para penduduk. Keesokkan harinya menyebarlah penyakit yang tak ada obatnya pada seluruh penduduk. Setiap hari hampir ratusan orang mati dan dimakamkan. Perlahan-lahan penduduk baik di Girah maupun Daha semakin sedikit. Tidak ada satu pun pendeta baik yang mampu menghentikan penyakit dari Calon Arang. Semua orang hidup dalam ketakutan.
Sementara itu Calon Arang dan para pengikutnya sedang berbahagia di Girah. Malam ini Calon Arang dan para pengikutnya akan menyebarkan penyakit itu ke seluruh Girah dan daerah diluar ibukota. Calon Arang berjalan di tengah-tengah para pengikutnya yang sedang menari-nari mengiringi mantra Calon Arang dari kitab ditangannya. Tidak lama lagi mereka akan mengadakan pesta atas kematian para penduduk. Keesokkan harinya menyebarlah penyakit yang tak ada obatnya pada seluruh penduduk. Setiap hari hampir ratusan orang mati dan dimakamkan. Perlahan-lahan penduduk baik di Girah maupun Daha semakin sedikit. Tidak ada satu pun pendeta baik yang mampu menghentikan penyakit dari Calon Arang. Semua orang hidup dalam ketakutan.
Berita tentang meluasnya penyakit Calon Arang telah dilaporkan kepada Raja Erlangga. Sang Raja pun mengutus para prajuritnya untuk menangkap Calon Arang. Selama beberapa hari melakukan perjalanan.Sampailah para prajurit Raja Erlangga di Girah. memimpin pasukan dan dua orang prajurit memasuki rumah Calon Arang. Namun Calon Arang yang sudah sangat sakti tidak bisa dilawan hanya dengan senjata prajurit dan ketiga prajurit itu pun meninggal ketika hendak menangkap Calon Arang. Prajurit yang tersisa melarikan diri dari Girah untuk kembali ke Daha dan melaporkan peristiwa tersebut. Raja Erlangga semakin sedih karena tidak bisa menghentikan penyakit Calon Arang.
Calon Arang bertambah marah mengetahui Raja Erlangga mengirim para prajurit untuk menangkapnya. Dia memikirkan cara untuk membalas dendam. Namun kedua muridnya Weksirsa dan Lendi menyarankan supaya Calon Arang membatalkan niatnya karena Raja Erlangga merupakan Raja yang sangat dicintai oleh rakyatnya. Tidak akan ada orang yang mau memihak mereka apabila terjadi sesuatu yang buruk pada Raja karena perbuatan mereka. Calon Arang semakin kesal mendengar saran dari Weksirsa dan Lendi. Akhirnya dia melakukan pemujaan lagi pada Dewi Durga. Meminta agar Dewi Durga mengizinkan untuk Calon Arang menyebarkan penyakit tidak hanya di seluruh Girah dan diluar ibukota tapi di seluruh negara Daha.
Di Lemah Tulis Empu Baradah sibuk mencari Wedawati yang pergi dari rumah. Empu Baradah bertanya pada setiap orang yang ditemuinya. Hingga salah satu dari mereka mengatakan kalau Wedawati mungkin pergi ke kuburan ibunya. Cepat-cepat Empu Baradah
pergi ke makam istri pertamanya itu. Di sanalah Empu Baradah menemukan Wedawati yang tengah duduk disamping makam Ibunya. Empu Baradah pun mengajak Wedawati untuk pulang. Semenjak saat itu Wedawati jarang sekali pergi menemui teman-temannya. Empu Baradah menyuruh Wedawati untuk belajar banyak ilmu di pondok.
Setelah itu datanglah utusan Raja Erlangga menemui Empu Baradah. Dia menyampaikan pada Empu Baradah bahwa Raja Erlangga memerlukan bantuan Empu Baradah untuk melenyapkan mantra Calon Arang. Menurut Ceritanya Calon Arang menyebarkan mantra penyakit itu karena dia merasa kesal. Para pemuda tidak ada yang mau memperistri anaknya Ratna Manggali. Empu Baradah pun bersedia membantu Raja Erlangga. Pertama-tama Empu Baradah meminta agar Raja Erlangga mau menanggung biaya pernikahan Ratna Manggali dengan anak didiknya Empu Bahula. Ya, Empu Baradah hendak menjodohkan Ratna Manggali dengan Empu Bahula.
Raja Erlangga sangat senang ketika Empu Baradah bersedia membantunya. Bahkan Empu Baradah sudah menemukan cara untuk melenyapkan mantra Calon Arang. Raja Erlangga memberikan uang dan emas kepada Empu Bahula sebagai emas kawin dan biaya pernikahannya dengan Ratna Manggali. Berangkatlah Empu Bahula ke kediaman Calon Arang di Dusun Girah dengan maksud melamar putrinya Ratna Manggali. Bukan main girang hati Calon Arang ketika mendengar anaknya akan dilamar. Calon Arang pun menerima lamaran tersebut.
Setelah beberapa hari menikah Empu Bahula mulai melaksanakan tugasnya yang dulu menjadi tujuan awalnya menikahi Ratna Manggali. Ia meminta tolong kepada Ratna Manggali untuk mengambilkan kitab milik ibunya tersebut, disaat ibunya sedang tidur. Dengan ikhlas Ratna Manggali mengambilkan kitab itu saat ibunya sedang tertidur pulas. Setelah berhasil mendapatkannya, Ratna Manggali langsung memberikannya kepada Empu Bahula. Empu Bahula meminta izin kepada istrimya untuk pergi sebentar dengan alasan ingin mencari udara segar, padahal tujuan sebenarnya Empu Bahula adalah untuk memberikan kitab tersebut pada Empu Baradah gurunya.
Setelah mengetahui rahasia ilmu sihir Calon Arang dari kitabnya, Empu Baradah menjadi mudah mengalahkan Calon Arang. Didatanginya Calon Arang ke tempat biasa Calon Arang melakukan pemujaan sebelum meneluh orang. Terjadi perdebatan antara Empu Baradah dan Calon Arang di sana, dan pada akhirnya Empu Baradah dengan mudah membunuh Calon Arang setelah ia disucikan.
Sejak saat itu kerajaan Daha menjadi makmur. Namun Raja Erlangga masih memiliki satu masalah lagi yang belum terselesaikan, yaitu permasalahan tahta untuk kedua anaknya. Ia bingung untuk bertindak adil dalam penurunan tahta Raja pada kedua anaknya. Pada akhirnya Empu Baradah memiliki solusi untuk permasalahan tersebut, yaitu dengan membagi Kerajaan Daha menjadi dua kerajaan kecil, Kerjaan Kediri dan Kerajaan Jenggala. Berkat solusinya itu Empu Baradah diberi banyak sekali koin emas oleh Raja Erlangga, yang kemudian seluruh koin emas itu diberikan pada istri keduanya dan anaknya. Tanpa banyak bicara, Empu Baradah langsung mengajak Wedawati pergi ke tempat yang sangat jauh. Sejak saat itu tak ada lagi warga yang melihat keberadaaan mereka berdua.
Dari buku ini saya merasa Pramoedya Ananta Toer mampu menghipnotis pembaca ke dalam cerita. Saya jadi merasa seolah-olah ada pada saat kejadian tersebut terjadi. Dari pengantar penulisnya pun saya sudah mendapat ilmu baru, seperti asal nama Blora dan sedikit tentang Empu Baradah. Namun masih ada pula beberapa kosa kata yang terdengar asing di telinga saya, yang membuat novel ini kurang mudah dipahami, seperti : menandak, bersitinjak, azimat, diruyaki, mencancang, samadi, tumpaki. Ada beberapa bagian cerita yang kurang dijelaskan secara jelas. Bagian bagjan cerita tersebut hanya dijelaskan awal permasalahannya saja, sehungga membuat kita bingung akan maksud cerita tersebut. Tokoh Ratna Manggali kurang dijelaskan secara mendalam. Banyak bagian yang penggambarannya eperti belum tuntas. Bagi saya isi ceritanya sedikit kurang memuaskan karena permasalahan yang ada kurang menantang, permasalahan yang ada diselesaikan dengan cara yang sederhana.
Namun novel ini bisa membuat kita berimajinasi dan masuk ke dalam ceritanya. Memuat latar belakang zaman kerajaan, dan memberikan kesan klasik pada ceritanya. Bagi penggemar cerita-cerita yang berlatar belakang zaman kerajaan dan yang memuat unsur klasik, saya menyarankan anda untuk membaca novel ini. Karena novel ini bisa mengajak kita masuk ke dalam ceritanya yanh bernuansa zaman kerajaan dengan pemilihan kata yang dapat menghipnotis.
Oleh : Nabila Hasna Rafifah Hardani VIII.9/19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar