Judul Buku : Pangiil Aku
Kartini saja
Pengarang : Pramoedya Ananta
Toer
Penerbit : Lentera
Dipantara
Tahun Terbit : 1965 (dibakar oleh
Belanda)
Tebal Buku : 307 Halaman.
“Panggil Aku Kartini Saja” merupakan buku karya Pramoedya Ananta Toer,
yang telah mendapatkan sekitar 19 penghargaan dari berbaggai pelosok dunia.
Buku ini mendapat respon yang baik dari berbagai Negara. Buku ini diawali oleh pangeran
diponegoro yang jatuh, perang jawa yang terbesar dan termahal dikalahkan oleh
Belanda.
Penderitaan, kesengsaraan, kemiskinan. Itulah yang
dirasakan rakyat Indonesia pada zaman tanam paksa. Diperbudak namun tidak mendapat
upah.. Semakin lama semakin menyiksa sistem tanam paksa ini, lebih banyak
mengambil nyawa. Wabah kemiskinan dan kelaparan dimana mana.
Lahirlah sosok Kartini yang
begitu menentang feodalisme dan kolonialisme. Seorang putri bangsawan yang
hidup tanpa masa depan. Bukan masa depannya direnggut oleh Belanda, namun ia
tak tau mau jadi apa ia esok hari nanti. Namun karena semua itu, Kartini tumbuh
menjadi wanita yang kuat, yang mampu mengasah pena tajamnya untuk melawan
penindasan terhadap kaum wanita.
Bebas, itu yang dirasakan Kartini setelah sekian
tahun terkurung dalam penjara tembok batu yang ditinggalinya. Mata kartini
terbuka akan kemelaratan dan penderitaan rakyat pribumi, “Rakyatku…” katanya.
Matanya bertambah luas memandang rakyat pribumi melalui buku “Max Havellar”.
Kartini hanya bisa melakukan perlawanan dari surat surat yang bernilai tinggi
keseniannya, ia sindir kolonial Belanda dengan sastranya. Surat Kartini
mengguncang dunia, tersebar luas karena para sahabatnya yang tinggal di Belanda
Secara umum novel ini sudah benar benar menceritakan biografi seorang
Kartini. Bahasa yang digunakan beragam namun sulit untuk dimengerti untuk para
siswa usia Sekolah Menengah Pertama. Juga dikarenakan ini novel lawas,
kemungkinan besar anak zaman sekarang kurang menyukainya, walau isinya sangat
menarik.
Buku ini pada awal terlihat membosankan, bagaimana cara Pramoedya untuk
membuat awalan dalam novel ini cukup membosankan, karena rata rata rakyat
Indonesia telah mengetahui tentang sistem tanam paksa, kerja rodi, dan lain
lain. Namun pada akhir buku, kita akan diberikan suguhan paragraf yang mungkin
tidak akan kita temukan di novel Kartini lainnya. Yaitu tentang kondisi
kejiwaan Kartini, sinkretisme yang masih keras, Kartini dan Tuhannya, egoisme
sebagai antipodacinta, dan beakhir dalam observasi dan intelegensia seorang
Kartini.
Penjelasan Pramoedya yang begitu panjang lebar kemungkinan besar akan
membuat pembaca remaja saat ini bosan karena kosakata yang diambil terlalu
dalam. Setiap awal paragraph pada BAB baru selalu menarik, namun sekitar
paragraf 3 hingga seterusnya terasa tidak lagi menarik karena merupakan
penjabaran dari paragraf sebelumnya yang sudah detail.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar