Judul : Larasati
Pengarang : Pramoedya Ananta
Toer
Penerbit : Lentera
Dipantara
Tahun terbit : 2003 (cetakan
kedua)
Tebal halaman : 184 halaman
Larasati merupakan salah satu roman karya Pramoedya
Ananta Toer yang memperoleh banyak penghargaan yang terbaru adalah Centenairo Pablo Neruda, Republica de Chile.
Roman ini juga mendapat perhatian yang cukup besar dalam berbagai kalangan
hingga ke mancanegara.
Roman ini menceritakan pergolakan revolusi di Indonesia
setelah pascaproklamasi. Larasati yang merupakan seorang bintang film di zaman
itu mencoba menjadi bagian dari revolusi itu. Ia mengawali revolusi sejak
perpindahannya dari pendalaman Yogya, menuju ke pendudukan Jakarta untuk
menemui ibunya. Selama perjalanan, ia melihat begitu besarnya semangat revolusi
dalam diri pemuda. Sebuah selendang merah pun diberikan kepadanya dalam
perjalanannya ke Jakarta. Selendang yang ia sendiri anggap sebagai bukti
semangat revolusi dalam diri pemuda yang memperjuangkan bangsa Indonesia samapi
titik darah penghabisan.
Larasati digambarkan sebagai sosok wanita yang keras dan
tak kenal kompromi. Sampai pada waktunya ia dibawa untuk melihat suasana di
dalam penjara. Begitu pilunya suasana di dalam penjara tersebut, Tak ada belas
kasihan bagi mereka yang melawan.
Dalam perjuangan revolusinya,
Larasati bertemu Martabat, seorang supir/opsir yang dipekerjakan secara paksa
oleh NICA. Martabat yang membawa Larasati kembali bertemu dengan ibunya
Lasmidjah. Bersama ibunya, Larasati menghadapi suasana peperangan di kampung
halamannya sendiri. Setiap malam selalu saja ada ketakutan, selalu saja ada
suara tembakan yang menghantui dan pada suatu malam dia pun ikut bertempur
melawan NICA bersama Opsir Martabat yang sebenarnya membela Revolusi. Suasana
yang dialami Larasati pada saat ikut berperang adalah penuh ketakutan tetapi
dia dapat melawan rasa takut itu dengan banyaknya pemuda pejuang dan opsir
Martabat yang mengikutinya. Selama berperang dia disuruh bersembunyi di parit
dan ditemani seorang pemuda dan para pemuda lainnya saling tembak menembak
melawan penjajah. Di dalam parit itu Larasti dilindungi oleh pemuda yang menemaninya
karena sebenanrnya wanita tidak dibolehkan mengikuti perang. Diakhir perang
pemuda yang menemani Larasti tersebut tertembak oleh pasukan NICA yang ternyata
bersembunyi di atas pohon, pemuda itu pun tergeletak kesakitan segera opsir
Martabat menembak pasukan NICA dan membawa pemuda ke rumah Lasmidjah. Saat di
rumah Lasmidjah ternyata pemuda itu pun telah meninggal, Larasti menangis
tersedu sedu karena melihat semangat para pemuda yang rela mempertaruhkan
nyawanya demi Revolusi bangsa Indonesia.
Suatu hari seorang Arab datang untuk menemui Larasati.
Jusman namanya. Ia meminta Larasati untuk menjadi penyanyi di grup gambusnya.
Larasati sendiri menolak ajakan tersebut. Akibat dari penolakan tersebut,
Jusman pun menahan Lasmidjah di rumahnya yang mewah karena Lasmidjah sendiri
ibu Larasati sekaligus pembatu di rumah Jusman. Setahun
berlalu sejak terakhir kalinya Larasati bertemu dengan ibunya. Dalam suatu hari
perjalanannya yang tak tentu arahnya, ia bertemu dengan seorang teman lamanya,
seorang pengarang, Chaidir namanya. Chaidir sendiri beranggapan bahwa revolusi
sudah tercemar akibat ulah para pemimpin. Tak lama setelah Larasati menemui
Chaidir, Jusman memaksa Larasati untuk tinggal di rumahnya. Perjuangan revolusi
Larasati sepertinya sudah menemui jalan buntu. Ia tidak diizinkan keluar rumah
oleh Jusman, sampai-sampai pada suatu saat ia mendengar bahwa Chaidir telah
meninggal. Baginya revolusi seperti sudah tidak ada ketika mendengar kabar
tersebut.
Larasati akhirnya menjadi istri sirih Jusman sekaligus
pembantu Jusman seoerti ibunya. Pada suatu hari Larasati ingin Jusman
membelikannya surat kabar dan majalah harian untuk mengetahui kabar tentang
kematiannya Chaidir. Hingga sampai sore Jusman tidak pulang juga, tiba-tiba
seseorang pun menuju ke rumah Jusman mengabari bahwa Jusman tertembak dan
sedang dirawat di rumah sakit. Meskipun Larasati istri Jusman tetapi dia sngat
benci kepada Jusman karena memperlakukan ibunya tidak sopan, ia tidak pernah
menjenguk Jusman sekali pun. Setelah sebulan Jusman dirawat di rumah sakit dia
akhirnya pulang ke rumah dan mengatakan bahwa dia harus pindah ke Malaysia
karena Revolusi mulai menang dan NICA mulai kalah sebab Jusman sebenarnya
mata-mata NICA.
Di hari kemengan Revolusi Larasati menghadiri upacara
pengibaran bendera di Jalan Merdeka Utara bersama ibunya. Setelah selesai
upacara dia pulang ke rumah Jusman dan ternyata Jusman bersama grup gambusnya
bersiap pergi ke Malaysia dan berpesan kepada Larasati bahwa harus meninggalkan
Indonesia dan meninggalkan Larasati. Di dalam hati Larasati sangat senang
karena dia sangat membenci Jusman. Jusman pun meninggalkan Larasati dan ibunya
tanpa memberi apa-apa, kemudian Larasti dan ibunya hendak pulang ke rumah
ibunya. Di tengah perjalanan mereka bertemu Oding yaitu pria yang dicintai
Larasati sejak ia tinggal di Yogya. Oding pun mengajak Larasti dan ibunya untuk
tinggal di rumahnya yang besar dan mewah. Setelah sampai dia ingin menikahi
Larasati dan ibunya pun merestui mereka berdua tanpa lama-lama esok harinya
mereka langsung menikah dan menjadi pasangan yang sah serta menikmati kemengang
Revolusi setelah sekian lama mengalami penderitaan.
Roman ini banyak memberikan peljaran bagi pembacanya.
Kita harus mempunyai tekad untuk mencapai tujuan yang kita cita-cita kan .
Jangan sampai tujuan kita gagal hanya karena hal yang ringan atau karena orang
lain. Kita juga harus membela bangsa kita agar kita bias bahagia diakhir
nantinya. Roman ini pula ceritanya sangat menarik dan mengaharukan sehingga
pembacanya bisa menangis dan memiliki makna yang cukup dalam serta memiliki
alur yang sangat menarik. Tapi, sayangnya pada roman ini bahasanya sulit
dipahami karena kebanyakan masih memakai bahasa zaman penjajahan dan
kurangnya jumlah buku sehingga dengan
buku yang tidak terlalu tebal harganya menjadi mahal.
Oleh : Muhammad Zacky Hafiyyan Maulana VIII.9/18
Bagus
BalasHapusNaise
BalasHapusMenarik
BalasHapusSiip
BalasHapusSiip
BalasHapus