Daftar Mata Pelajaran

Senin, 17 September 2018

Kemenangan Revolusi (buku Larasati) karya Pramoedya Ananta Toer.


Hasil gambar untuk gambar buku larasati

Judul                : Larasati
Pengarang        : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit            : Lentera Dipantara
Tahun terbit      : 2003 (cetakan kedua)
Tebal halaman  : 184 halaman
            Larasati merupakan salah satu roman karya Pramoedya Ananta Toer yang memperoleh banyak penghargaan yang terbaru adalah Centenairo Pablo Neruda, Republica de Chile. Roman ini juga mendapat perhatian yang cukup besar dalam berbagai kalangan hingga ke mancanegara.

            Roman ini menceritakan pergolakan revolusi di Indonesia setelah pascaproklamasi. Larasati yang merupakan seorang bintang film di zaman itu mencoba menjadi bagian dari revolusi itu. Ia mengawali revolusi sejak perpindahannya dari pendalaman Yogya, menuju ke pendudukan Jakarta untuk menemui ibunya. Selama perjalanan, ia melihat begitu besarnya semangat revolusi dalam diri pemuda. Sebuah selendang merah pun diberikan kepadanya dalam perjalanannya ke Jakarta. Selendang yang ia sendiri anggap sebagai bukti semangat revolusi dalam diri pemuda yang memperjuangkan bangsa Indonesia samapi titik darah penghabisan.
            Larasati digambarkan sebagai sosok wanita yang keras dan tak kenal kompromi. Sampai pada waktunya ia dibawa untuk melihat suasana di dalam penjara. Begitu pilunya suasana di dalam penjara tersebut, Tak ada belas kasihan bagi mereka yang melawan.
Dalam perjuangan revolusinya, Larasati bertemu Martabat, seorang supir/opsir yang dipekerjakan secara paksa oleh NICA. Martabat yang membawa Larasati kembali bertemu dengan ibunya Lasmidjah. Bersama ibunya, Larasati menghadapi suasana peperangan di kampung halamannya sendiri. Setiap malam selalu saja ada ketakutan, selalu saja ada suara tembakan yang menghantui dan pada suatu malam dia pun ikut bertempur melawan NICA bersama Opsir Martabat yang sebenarnya membela Revolusi. Suasana yang dialami Larasati pada saat ikut berperang adalah penuh ketakutan tetapi dia dapat melawan rasa takut itu dengan banyaknya pemuda pejuang dan opsir Martabat yang mengikutinya. Selama berperang dia disuruh bersembunyi di parit dan ditemani seorang pemuda dan para pemuda lainnya saling tembak menembak melawan penjajah. Di dalam parit itu Larasti dilindungi oleh pemuda yang menemaninya karena sebenanrnya wanita tidak dibolehkan mengikuti perang. Diakhir perang pemuda yang menemani Larasti tersebut tertembak oleh pasukan NICA yang ternyata bersembunyi di atas pohon, pemuda itu pun tergeletak kesakitan segera opsir Martabat menembak pasukan NICA dan membawa pemuda ke rumah Lasmidjah. Saat di rumah Lasmidjah ternyata pemuda itu pun telah meninggal, Larasti menangis tersedu sedu karena melihat semangat para pemuda yang rela mempertaruhkan nyawanya demi Revolusi bangsa Indonesia.
            Suatu hari seorang Arab datang untuk menemui Larasati. Jusman namanya. Ia meminta Larasati untuk menjadi penyanyi di grup gambusnya. Larasati sendiri menolak ajakan tersebut. Akibat dari penolakan tersebut, Jusman pun menahan Lasmidjah di rumahnya yang mewah karena Lasmidjah sendiri ibu Larasati sekaligus pembatu di rumah Jusman. Setahun berlalu sejak terakhir kalinya Larasati bertemu dengan ibunya. Dalam suatu hari perjalanannya yang tak tentu arahnya, ia bertemu dengan seorang teman lamanya, seorang pengarang, Chaidir namanya. Chaidir sendiri beranggapan bahwa revolusi sudah tercemar akibat ulah para pemimpin. Tak lama setelah Larasati menemui Chaidir, Jusman memaksa Larasati untuk tinggal di rumahnya. Perjuangan revolusi Larasati sepertinya sudah menemui jalan buntu. Ia tidak diizinkan keluar rumah oleh Jusman, sampai-sampai pada suatu saat ia mendengar bahwa Chaidir telah meninggal. Baginya revolusi seperti sudah tidak ada ketika mendengar kabar tersebut.
            Larasati akhirnya menjadi istri sirih Jusman sekaligus pembantu Jusman seoerti ibunya. Pada suatu hari Larasati ingin Jusman membelikannya surat kabar dan majalah harian untuk mengetahui kabar tentang kematiannya Chaidir. Hingga sampai sore Jusman tidak pulang juga, tiba-tiba seseorang pun menuju ke rumah Jusman mengabari bahwa Jusman tertembak dan sedang dirawat di rumah sakit. Meskipun Larasati istri Jusman tetapi dia sngat benci kepada Jusman karena memperlakukan ibunya tidak sopan, ia tidak pernah menjenguk Jusman sekali pun. Setelah sebulan Jusman dirawat di rumah sakit dia akhirnya pulang ke rumah dan mengatakan bahwa dia harus pindah ke Malaysia karena Revolusi mulai menang dan NICA mulai kalah sebab Jusman sebenarnya mata-mata NICA.
            Di hari kemengan Revolusi Larasati menghadiri upacara pengibaran bendera di Jalan Merdeka Utara bersama ibunya. Setelah selesai upacara dia pulang ke rumah Jusman dan ternyata Jusman bersama grup gambusnya bersiap pergi ke Malaysia dan berpesan kepada Larasati bahwa harus meninggalkan Indonesia dan meninggalkan Larasati. Di dalam hati Larasati sangat senang karena dia sangat membenci Jusman. Jusman pun meninggalkan Larasati dan ibunya tanpa memberi apa-apa, kemudian Larasti dan ibunya hendak pulang ke rumah ibunya. Di tengah perjalanan mereka bertemu Oding yaitu pria yang dicintai Larasati sejak ia tinggal di Yogya. Oding pun mengajak Larasti dan ibunya untuk tinggal di rumahnya yang besar dan mewah. Setelah sampai dia ingin menikahi Larasati dan ibunya pun merestui mereka berdua tanpa lama-lama esok harinya mereka langsung menikah dan menjadi pasangan yang sah serta menikmati kemengang Revolusi setelah sekian lama mengalami penderitaan.
            Roman ini banyak memberikan peljaran bagi pembacanya. Kita harus mempunyai tekad untuk mencapai tujuan yang kita cita-cita kan . Jangan sampai tujuan kita gagal hanya karena hal yang ringan atau karena orang lain. Kita juga harus membela bangsa kita agar kita bias bahagia diakhir nantinya. Roman ini pula ceritanya sangat menarik dan mengaharukan sehingga pembacanya bisa menangis dan memiliki makna yang cukup dalam serta memiliki alur yang sangat menarik. Tapi, sayangnya pada roman ini bahasanya sulit dipahami karena kebanyakan masih memakai bahasa zaman penjajahan dan kurangnya  jumlah buku sehingga dengan buku yang tidak terlalu tebal harganya menjadi mahal.

Oleh : Muhammad Zacky Hafiyyan Maulana VIII.9/18

5 komentar: