Identitas Buku
Judul : Ronggeng Dukuh Paruk
Pengarang : Ahmad Tohari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit :2017 (cetakan ketiga belas)
Tebal halaman : 408 halaman
ISBN : 978-979-22-0196-3
Ahmad Tohari pertama kali menerbitkan novel Ronggeng Dukuh Paruk ini dalam bentuk trilogi, yaitu Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Pada tahun 1983 novel ini diangkat pertama kali ke layar lebar oleh sutradara Yazman Yazid dengan judul Darah dan Mahkota Ronggen. 28 tahun kemudian diangkat kembali ke layar lebar oleh sutradara Ifa Isfansyah berjudul Sang Penari.
Novel ini meneceritakan tentang kehidupan sebuah desa bernama Dukuh Paruk yang dipenuhi oleh kemiskinan,kemelaratan,dan kebodohan dengan sudut pandang seorang anak Dukuh Paruk bernama Rasus.Rasus adalah seorang anak yatim piatu yang ayah dan ibunya tewas karena peristiwa 11 tahun yang lalu.Ia hanya tinggal dengan neneknya di sebuah gedhek yang sangat kecil.
Cerita bermula di tepi kampung, dimana tiga anak laki-laki sedang bersusah payah mencabut sebatang singkong.Namun ketiganya masih terlampau lemah untuk mengalihkan cengkeraman akar ketela yang terpendam dalam tanah kapur.Mereka adalah Rasus,Warta, dan Darsun. Kemudian dilanjutkan sampai ketiga anak tersebut bertemu dengan Srintil-yang kelak menjadi Ronggeng-dan mereka bermain bersama dibawah pohon nangka.
Pedukuhan yang kecil, miskin, terpencil, dan bersahaja itu kembali menggaet semangat yang telah 12 tahun lamanya hilang.Yakni seorang ronggeng.Ronggeng diibaratkan macam perlambang.Tanpa seorang ronggeng, Dukuh Paruk merasa seperti kehilangan jati diri.
Dengan segera Srintil menjadi tokoh yang amat terkenal dan digandrungi.Cantik nan menggoda;ronggeng.
Namun malapetaka politik tahun 1965 membuat pedukuhan yang kere itu hancur.Tak hanya fisiknya saja.Mentalnya pun hancur juga.Karena kebodohannya, mereka terbawa arus dan divonis sebagai insan yang mengguncangakn bangsa ini.Dukuh Paruk dibakar.Ronggeng lengkap dengan para penabuh calungnya ditahan.Tetapi karena kecantikannya, Srintil tidak diperlakukan semena-mena oleh para pentolan di penjara tersebut.
Pengalaman pahit sebagai tahanan politik membuat Srintil sadar akan harkatnya sebagai menusia.Karena itu setelah bebas, ia berniat memperbaiki citra dirinya dan tak ingin lagi melayani lelaki manapun.Namun ternyata Srintil kembali terhempas ketika Bajus muncul dalam hidupnya.Bahkan membuat jiwanya hancur berantakan tanpa harkat secuil pun.
Novel ini mengajak pembacanya untuk berimajinasi lebih luas.Pasalnya, setting waktu yang diambil dalam novel ini adalah pada tahun 1960-an yang mestinya keadaan jauh berbeda dengan jaman sekarang.Tema yang diambil pada novel ini bisa dibilang nyentrik jika dibandingkan dengan novel lainnya yang terbit pada tahun yang sama. Sayangnya, novel ini banyak mengandung kata-kata berunsur dewasa yang sebenarnya tidak layak dibaca oleh anak dibawah umur.
Meskipun novel ini banyak mengandung kata-kata yang bersifat dewasa,kekurangan tersebut telah ditutupi dengan alur yang sangat menarik dan membuat gregetan para pembacanya.Perlu wawasan lebih untuk memahami setiap kalimatnya.Secara umum, novel ini tetap layak dibaca oleh masyarakat.Terlebih para kolektor novel-novel karya pemulis terkenal.
OLEH HIBBAN DIAZ R. VIII. 9/14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar