Daftar Mata Pelajaran

Selasa, 18 September 2018

Feodalisme Jawa yang Tak Berperi dalam "Gadis Pantai'' Karya Pramoedya Ananta Toer



FEODALISME JAWA YANG TAK BERPERI DALAM "GADIS PANTAI" ~PRAMOEDYA ANANTA TOER~ 

 Judul Roman         : Gadis Pantai
 Pengarang            : Pramoedya
                                   Ananta Toer
 Penerbit                 : Lentera Dipantara
 Jumlah Halaman  : ±280 halaman
 Tahun Terbit         : 2003
 Kategori Roman   : Sejarah


     Roman Gadis Pantai merupakan salah satu roman yang dikarang oleh Pramoedya Ananta Toer yang merupakan pengarang yang melegenda. Roman Gadis Pantai mengisahkan seorang gadis berusia empat belas tahun yang dinikahkan dengan seorang pembesar. Roman ini merupakan roman yang
tidak selesai (unfinished). Cerita ini dibuat berdasarkan kisah pernikahan dari nenek Pramoedya Ananta Toer sendiri. Roman Gadis Pantai menceritakan tentang feodalisme Jawa zaman dahulu yang tidak berperikemanusiaan.
     Roman ini menceritakan ada seorang gadis berusia empat belas tahun yang dinikahkan seorang pembesar yang disebut Bendoro. Gadis pantai ini sedih karena kehilangan apa yang ia nikmati di pantai serta keluarga yang menyayanginya. Dalam perkawinan itu Bendoro hanya diwakilkan oleh sebuah keris. Perkawinan mereka hanya disaksikan oleh ketua kampung yang sekaligus sebagai perwakilan dari kota. Setelah pernikahan dilangsungkan, Gadis Pantai itulah nama anak nelayan miskin itu langsung diboyong ke kota, ke tempat keluarga Bendoro tinggal. Kehidupan yang jauh berbeda dengan keadaan di tempat asalnya di sekelilingnya tak ada yang pernah tersenyum dengannya, semuanya begitu kaku, hanya seorang pelayan tualah yang menjadi teman bicara dan teman bertanya dikala sedang merasa kesepian di kamarnya.
    Tiga bulan telah berlalu Gadis Pantai kini telah menjadi istri seorang Bendoro. Nama sebutannya pun sudah bukan Gadis Pantai lagi, melainkan Mas Nganten. Saat itu Gadis Pantai dapat beradaptasi pada lingkungan itu. Ini semua berkat bantuan pelayan tua yang senantiasa membimbing dan mengarahkan Gadis Pantai. Namun pada suatu ketika Gadis Pantai kehilangan dompet tempat uang belanjaan dapurnya. Uang itu untuk menghidupi seisi gedung. Gadis Pantai menjadi bingung  harus bagaimana dia mengadukan pada Bendoro. Sedangkan yang dicurigainya adalah masih kerabat Bendoro sendiri, setelah ditanyai dia tidak mengaku, malahan temannya yang lain ikut membelanya dan sebaliknya menghina pada Gadis Pantai. Namun pelayan tua yang menemani Gadis Pantai mengadukannya pada Bendoro.
     Bendoro menjadi murka setelah tahu pencuri dompet istrinya adalah kerabatnya, dia langsung mengusirnya dari gedung itu bersama dengan pelayan tua yang mengadukannya. Hal ini membuat Gadis Pantai merasa terpukul karena dia tidak memiliki lagi teman untuk mencurahkan perasaanya. Kepergian pelayan tua tidak membuat gusar Bendoro, karena pada waktu itu juga dia dapat menggantikan pelayan tua dengan seorang pelayan yang masih muda, Mardinah namanya pelayan itu. Dia masih kerabatnya Bendoro sewaktu ditanya oleh Gadis Pantai. 
Kedatangan Mardinah ke rumah itu sepertinya memiliki niat buruk. Dia datang tidak hanya sebagai pelayan, tetapi ingin menghancurkan rumah tangga Gadis Pantai. Hal ini membuat Gadis Pantai ingin pulang ke kampungnya, dan Bendoro pun tidak merasa keberatan. Kepulangannya ke kampungnya harus diantar oleh pelayan barunya itu, yakni Mardinah. Gadis Pantai tidak pulang kembali bersama Mardinah ke kota, Gadis Pantai tinggal beberapa hari di kampungnya. Mardinah disuruhnya pulang terlebih dahulu bersama kusir yang mengantarnya sewaktu mereka datang. Selama di kampung Gadis Pantai tidak merasa seperti dulu. Semua orang memandangnya lain. Setiap orang yang dilihatnya langsung menundukkan wajahnya. Hal ini membuat Gadis Pantai merasa seperti dirinya asing bagi kampungnya sendiri. Bapaknya pun berlaku seperti orang lain, mereka seakan-akan baru bertemu dengan seorang pembesar. 
   Setelah empat hari tinggal di kampung, datanglah rombongan Mardinah yang akan menjemput Gadis Pantai dengan disertai empat orang pengawal. Mereka memaksa Gadis Pantai untuk segera pulang ke kota ditunggu oleh Bendoro. Sedangkan surat yang diberikan oleh Bendoro tidak diberikannya pada Gadis Pantai ataupun bapaknya sendiri. Hal ini membuat Bapaknya Gadis Pantai merasa curiga. Dugaan ini ternyata benar, dan Bapak mencari akal untuk membuktikannya, serta menyelamatkan anaknya yang ada dalam bahaya. Akhirnya rahasia Mardinah terbuka, setelah taktik dijalankan. Mardinah mengaku disuruh Bendoro dari Demak untuk membunuh Gadis Pantai di perjalanan dengan diberi upah yang cukup besar. Mardinah mendapat hukuman dari warga untuk kawin dengan lelaki yang paling malas di kampung itu, yang bernama si Dul Pendongeng.  
Sepulang dari kampung Gadis Pantai merasa dirinya sedang mengandung. Hal ini langsung dibuktikan oleh paraji Bendoro sendiri. Bendoro pun tidak banyak omong tentang kepulangannya dari kampung. Tidak banyak ditanyakan oleh Bendoro. Kandungannya menginjak waktu ke sembilan, saat itu Gadis Pantai sudah tidak sabar lagi ingin segera memiliki seorang anak, hal inipun sangat ditunggu-tunggu oleh bapaknya sendiri di kampung.
     Saat melahirkan pun kini telah tiba. Kelahiran Gadis Pantai dibantu oleh seorang dukun beranak kepercayaan Bendoro. Gadis Pantai melahirkan seorang anak perempuan. Namun bagi kalangan priyayi anak perempuan kurang diharapkan. Hal ini kelihatan setelah melahirkan Bendoro tidak mau melihat keadaannya sehabis melahirkan. 
     Tiga bulan setelah dilahirkan Bapak datang menjenguk Gadis Pantai secara tidak sengaja, Bapak dipanggil oleh Bendoro untuk menghadap. Kemudian Bapak menyuruh Gadis Pantai untuk segera membereskan pakaiannya untuk dimasukkan ke dalam wadah. Bapak menjelaskan pada Gadis Pantai bahwa Bendoro telah menceraikannya, dan Gadis Pantai harus segera pulang dengan bapaknya.
       Walaupun dengan perasaan berat, Gadis Pantai meninggalkan semua yang dimilikinya pada waktu digedung bersama Bendoro, termasuk anak gadisnya yang baru tiga bulan dia lahirkan. Dalam perjalanan pulang Gadis Pantai yang sudah berubah menjadi Mas Nganten enggan untuk pulang ke kampung halamannya karena perasaan malu, akhirnya gadis pantai itu memutuskan pergi ke Blora untuk mencari pelayan tua yang setia melayaninya di kediaman Bendoro.
     Tema dari teks ini adalah sejarah zaman dahulu yang mempunyai adat yang tidak beradab kemanusiaan. Teks ini memiliki amanat bahwa, janganlah membeda-bedakan seseorang dari tingkat ekonomi atau kalangannya karena sangatlah tidak beradab, serta seharusnya kita bersyukur dari apa yang Tuhan berikan (anak Gadis Pantai perempuan). Alur cerita ini mengisahkan lika liku kehidupan rumah tangga Gadis Pantai dengan Bendoro yang akhirnya mereka bercerai. 
   Tokoh utama dalam teks ini merupakan Gadis Pantai sendiri, tokoh antagonisnya adalah Bendoro serta Mardinah, Ibu  Bapak Gadis Pantai dan pelayan tua merupakan tokoh protagonis. Latar tempat kisah ini adalah di pantai atau kampung halaman si Gadis Pantai dan di kediaman Bendoro. Latar waktunya adalah zaman dahulu saat gadis 14 tahun dapat dinikahkan. Suasana dalam roman tersebut adalah menyedihkan dan memprihatinkan.
  Kelebihan roman ini adalah menggunakan bahasa atau ejaan ejaan yang lampau yang membuat roman lebih khas walaupun kurang mudah dipahami. Roman ini juga mempunyai kisah yang menyentuh dan dapat menggambarkan feodalisme masyarakat Jawa pada zaman dahulu walaupun tidak mudah untuk dimengerti ceritanya. Sayangnya kekurangan roman ini adalah tidak selesai (unfinished) dikarenakan dirampas oleh tentara Belanda dan dilarang peredarannya, namun diselamatkan oleh Universitas Nasional Australia. Roman ini mempunyai desain cover yang bagus.  
  

Oleh: Naura Valda Prameswari
            VIII.9 / 20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar