Perjuangan Seorang Anak Dalam
Bukan Pasar Malam
Karya Proamoedya Ananta Toer
Judul : Bukan Pasar Malam
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit :Lentera Dipantara
Tahun terbit : 2004
Tebal halaman : 112 halaman
Bukan Pasar Malam merupakan sebuah roman karangan Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1951 oleh Balai Pustaka. Oleh beberapa pembaca, Bukan Pasar Malam sering disimpulkan sebagai novel yang memiliki akhir cerita sedih / sad ending. Dan di samping itu seorang pejuang kemerdekaan telah rela berkorban hingga bersakit sakit. Bukan Pasar Malam sudah mendapat 19 penghargaan yang contohnya adalah Freedom to Write Award dari PEN American Center, Amerika Serikat dan Anugerah dari The Fund for Free Expression, New York, Amerika Serikat.
Saat itu sang ayah mengirim surat kepada sang anak yang saat itu tinggal di Jakarta untuk kembali ke Blora kediaman ayah dan keluarganya. Pada saat itu sang ayah dari anak tersebut jatu sakit. Dari seputaran perjalanan itu, terungkap beberapa potong puing gelojak hati yang tak pernah teranggap dalam gebyar gebyar revolusi. Dikisahkan bagaimana keperwiraan seorang dalam revolusi yang akhirnya melunak ketika dihadapkan pada kenyataan yang pahit. Ia menemukan ayanya yang seorang guru penuh bakti tergolek sakit karena TBC. Anggota keluarganya yang miskin, rumah tuanya yang sudah tidak kuat lagi menahan arus waktu, dan menghadapi istri yang cerewet.
Anak itu sampai di Blora dan duduk di ruang depan bersama dengan adik adiknya dan mereka mengobrol panjang tentang Jakarta, Semarang, bahkan tentang mobil. Seketika pembicaraan mereka terpotong karena sang anak revolusi menanyakan kabar ayahandanya. Obrolan yang panjang dan menyenangkan tadi sekaligus lenyap dan menjadi obrolan duka. Anak itu bertanya bebrapa kali dan tidak dijawab oleh adik adiknya. Anak itu malah mendapati suasana sedih. Akhirnya adik adiknya menjawab dengan nada duka dan suara lirih tentang kabar buruk ayahandanya.volusi tersebut perna memberikan surat pedas kepada ayahnya pada saat ia di penjara. Anak itu merasa berdosa dan ingin bertemu ayahnya. Mereka ke rumah sakit mendaiki dokar. Sang anak pun bertemu ayahnya di pembaringan rumah sakit, saat bertemu tangis haru menyelimuti mereka. Yang tadinya wajah ayahnya senyum seperti puas hidup di dunia ini dan tiba tiba menghilang seketika. Anak revolusi tersebut merasa miris melihat ayahnya yang dahulu berdiri kokoh sebagai seorang pemimpin perang gerilya yang pantang menyerah dan pandai meyusun strategi, seorang guru yang hebat dan gagah, dan seorang politikus pro rakyat yang ulung kini menjadi sesosok makhluk tak berdaya dengan penyakit penyakit yang menggerogotinya. Badan ayahnya yang dulunya tegak kini berganti menjadi lemah seperti sebilah papan. Sang anak ingin membawa ayahnya ke dokter spesialis namun terkendala oleh keuangan keluarga yang tidak mendukung. Saat saat seperti itulah keakraban antara ayah dan anak yang telah lama terpisah mulai kembali terjalin, begitu pula keakraban antara sang pemuda dengan adik-adiknya juga kembali dieratkan oleh suasana dan keadaan. Pemuda itu dan adik adiknya terus menangis karena meratapi kenyataan itu. Mereka bercerita lagi dan mendiskusikan tentang penyakit ayah tercintanya. Lalu pemuda itu bertemu dengan tetangga lamanya dan tetangga lamanya merekomendasikan untuk memperbaiki rumahnya itu. Pemuda revolusi bertanya kepada dokter tentang penyakit ayahnya dan ternyata penyakit ayahnya bisa hilang tapi dengan kemungkinan kecil. Namun tiba tiba sang istri meminta pemuda tersebut untuk kembali ke Jakarta dengan alasan keuangan yang memprihatinkan. Pemuda tersebut menolak ajakan tersebut karena ia tidak akan pulang sebelum keadaan beres semua. Mereka tengkar di perjalanan dengan membahas Jakarta! Uang! Ayah! Rumah Roboh! Lalu pertengkaran berakhir karena pemuda tersebut menyuru untuk istrinya pulang terlebih dahulu.
Waktu berjalan penuh dengan teka teki. Tanpa mereka sadari, satu minggu terlewati sudah, namun sang anak tetap teguh dengan tidak ingin beranjak pergi karena ia merasa memiliki kewajiban untuk menemani ayahnya yang tergolek lemah tak berdaya di rumah sakit karena dia merupakan anak pertama dalam keluarga tersebut dan merasa bersalah karena dia pernah melakukan kesalahan besar pada ayahandanya. Kejadian yang diucapkan ayahnya akhirnya terjadi juga, sang ayah meninggal dunia setelah dia dibawa pulang ke rumah oleh anak-anaknya. Tangis pilu tak terhindarkan karena tak menerima kenyataan tersebut, suasana duka menyelimuti keluarga mereka, rumah yang terlihat memprihatinkan turut menambah kesedihan mereka setelah ditinggal pergi orang tua tunggalnya yang tercinta itu.
Setelah kepergian sang ayah, pemuda tersebut mendapatkan banyak pembelajaran, hingga akhirnya ia menyadari bahwa kehidupan di dunia ini bukanlah seperti pasar malam, berduyun-duyun datang dan berduyun-duyun pula kembali, melainkan mereka menanti kepergiannya dengan segala hal yang masih dapat mereka lakukan.
Roman ini mengajak para pembacanya untuk selalu merawat orang tuanya dan tidak lupa akan mereka. Karena merekalah yang pertama kali merawat kita dan membesarkan kita. Roman ini mudah dicari di toko buku terdekat. Isinya sangat menarik dan membuat para pembaca ingin untuk membaca membaca dan membaca.
M. Asadillah Ramadhan
8.9/16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar