Daftar Mata Pelajaran

Rabu, 19 September 2018

Bumi Manusia : "Tegakkan Keadilan Kaum Pribumi!" - Karya: Pramoedya Ananta Toer




Judul                     : Bumi Manusia
Pengarang            : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit                : Lentera Dipantara
Alamat Penerbit  : Multi Karya II/26 Utan Kayu, Jakarta Timur
Tahun terbit         : 1980 ( cetakan pertama)
Tebal Buku           : 551
Ukuran Buku       : 13 cm x 20 cm
Editor                    : Astuti Ananta Toer
Genre                    : Historical Drama

            Bumi Manusia adalah buku pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang pertama kali diterbitkan oleh Hasta Mitra pada tahun 1980. Bumi Manusia juga merupakan salah satu buku yang terlaris yang  pernah diterbitkan oleh Pramoedya Ananta Toer, dimana buku ini telah diterbitkan di 4 benua hingga lebih dari 20 terjemahan bahasa diluar bahasa Indonesia dan banyak menyabet berbagai penghargaan dari dalam negeri maupun luar negeri. Walaupun  buku ini sukses menjadi buku terlaris yang pernah diterbitkan oleh Pramoedya Ananta Toer, buku ini pernah dilarang beredar setahun kemudian, yaitu pada tahun 1981 atas perintah Jaksa Agung. Sebelum dilarang, buku ini sukses dengan 10 kali cetak ulang dalam setahun, yaitu pada tahun 1980-1981. Buku Bumi Manusia adalah salah satu buku yang di lahirkan dari penderitaan Pramoedya Ananta Toer di sekap oleh hukum diktator dibawah rezim Jendral Soeharto. Buku ini awalnya diceritakan ulang oleh Pramoedya Ananta Toer kepada rekan-rekannya ketika dipenjara di Pulau Buru. Lalu, setelah itu buku ini diterbitkan pada tahun 80’an, tetapi sayang hanya tahan beberapa lama di toko buku karena cepat dilarang terbit oleh mentri kehakiman. Namun, setelah runtuhnya rezim diktator Orde Baru, buku ini kembali diterbitkan pada tahun 2000 oleh penerbit Hasta Mitra yang mencoba menerbitkan kembali karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Selain itu, buku Bumi Manusia pun juga diterbitkan kembali di Indonesia oleh Lentera Dipantara pada September tahun 2005. Buku ini pun melingkupi kejadian antara tahun 1898 hingga tahun 1918, masa ini merupakan masa munculnya pemikiran politik etis dan masa awal periode kebangkitan Nasional. Masa ini juga menjadi awal pertumbuhan organisasi-organisasi modern yang juga merupakan awal kelahiran demokrasi pada pola Revolusi Perancis.

            Secara garis besar buku Bumi Manusia yang merupakan roman sejarah ini menggambarkan seorang anak pribumi atau inlandeer yang mencoba membangun kembali rakyat dan tanah airnya akibat ketimpangan politik diskriminasi dan perbedaan ras serta kasta dan berbagai hak-hak azasi manusia yang dikesampingkan. Nama tokoh ini adalah Minke, ia adalah seorang anak bangsawan Jawa yang bersekolah di H.B.S( Hogere Burger School) atau setara dengan sekolah lanjutan tinggi pertama bagi seorang elite pribumi. Kepribadian Minke pun telah diasah oleh mental kolonial sejak dari sekolahnya di E.L.S sampai H. B. S, semua     guru – gurunya pun berasal dari tanah Eropa. Minke sebagai seorang pribumi berdarah Jawa mulai merasa ada yang berbeda pada dirinya semenjak masuk sekolah H.B.S, sepertinya sedikit demi sedikit budaya Eropa telah masuk pada dirinya. Pribadinya sedikit melenceng menyalahi wujudnya sebagai orang Jawa. Minke pun dididik oleh berbagai macam rasa diskriminasi dan perbedaan hak terhadap anak-anak pribumi. Bahkan Minke menjadi sangat mengagungkan Eropa dan melupakan budayanya karena merasa Eropa jauh lebih baik dalam segala hal.

Suatu ketika Robert Suurhorf yang merupakan teman sekolah Minke di H.B.S masuk kedalam kamar pemondokan Minke tanpa permisi maupun tanpa ketok pintu. Betapa kagetnya Minke melihat kelakuan temannya itu. Robert mendapati Minke sedang memandangi gambar seorang yang di idamkannya, yaitu Sri Ratu Wilhelmina yang merupakan ratu dari Belanda. Melihat Minke seperti itu, Robert menertawai Minke, mengejek, juga mencaci maki. Dia selalu tak senang melihat Minke bahagia. Baginya Pribumi adalah golongan dibawahnya. Tak terima dengan hinaan Robert, Minke kemudian melawan. Tapi Robert tak kehilangan akal, dia mengajak Minke pergi kerumah seorang gadis yang mirip dengan Ratu Wilhelmina di fotonya, bahkan lebihcantik darinya. Awalnya Minke tak ingin tapi Robert terus mendesaknya dan mengatainya. Minke merasa tertantang, dan akhirnya menerima ajakan Robert Suurhoof.

Robert telah mempersiapkan dokar, mereka menaiki dokar tersebut lalu berangkat kerumah seorang bidadari. Minke tahu niat Robert yang hanya ingin mempermalukannya, tapi Minke tak gentar. Ia bertekad tidak akan kalah dari Robert.

Mereka sampai ditempat tujuan, didaerah Wonokromo. Di sebuah rumah yang berloteng kayu, berpelataran luas dengan tulisan : boerderij buitenzorg. Sampai disana seorang pemuda Indo – Eropa telah menyambut. Teman Robert Surhorf. Dia hanya menyambut Surhorf dan tidak menyambut Minke, pandangannya begitu tajam pada Minke. Lalu juga ada seorang gadis berkulit putih, halus, berwajah Eropa, berambut dan bermata Pribumi, bernama Annelies Mellema. Minke begitu terpukau, dan inilah gadis yang dimaksud Robert Suurhorf. Minke melihat Robert Mellema dan Surhorf tenggelam dalam obrolannya mengenai bola, dan Minke tidak mengerti. Ia pun memutuskan untuk melihat – lihat perabot yang indah di rumah itu bersama Annelies. Di sela percakapan dan obrolan Minke, datang seorang wanita Pribumi, berkebaya putih dihiasi renda – renda mahal. Begitu mengagumkan bagi Minke dan juga lebih mengagetkan Minke karena wanita Pribumi itu berbahasa Belanda dengan baik. Annelies memperkenalkan Minke pada Mamanya yang akrab disapa dengan Nyai Ontosoroh. Setelah berkenalan Nyai Ontosoroh pergi untuk melanjutkan pekerjaannya.  

Annelies mengajak Minke berjalan – jalan, Minke sempat terkejut melihat Annelies, gadis kecil yang pintar, gesit. Diusianya yang masih muda dia telah membantu Mamanya mengurus perusahaan besarnya. Perusahaan yang di urus oleh dua orang saja, Nyai Ontosoroh dan Annelies. Minke begitu terpesona dengan mereka, terutama pada Nyai Ontosoroh, seorang Pribumi yang tanpa mengenyam bangku pendidikan tapi pengetahuannya begitu luas, mengenai perdagangan, perusahaan, administrasi, perkebunan, peternakan, bahkan mungkin dalam segala hal dia tahu. Nyai Ontosoroh yang hanya belajar otodidak dari suaminya Tuan Mellema. Kedatangan Minke di tengah – tengah keluarga Mellema membawa kesenangan tersendiri, terutama bagi Nyai dan Annelies. Minke yang telah jatuh cinta pada Annelies, dan begitu pula Annelies. Minke pun mulai jatuh cinta pada keluarga itu, anggapannya mengenai keluarga Mellema selama ini salah, berbeda dari pemikirannya dan juga yang dibicarakan oleh orang-orang.

Semenjak berkunjung dari rumah Nyai Ontosoroh, kehidupan berjalan seperti sedia kala, hanya Minke sedikit berubah. Boerderij Buitenzorg di Wonokromo seperti memanggil Minke, wajah Annelies yang selalu membayanginya. Minke seperti terkena sihir atau guna – guna. Minke kemudian pergi kerumah kerabatnya, Jean Marrris, menceritakan apa yang terjadi padanya sehingga dia berubah menjadi linglung. Jean Marris berpendapat bahwa Minke sedang dalam kesulitan, dia sedang jatuh cinta. Minke berusaha menyangkal pendapat Jean Marrris. Jean Marris menganjurkan Minke untuk datang kembalai ke rumah Annelies untuk dapat mengetahui benar tidaknya pendapatnya itu.

Dari rumah Jean Marris, Minke pulang ke pemondokan. Darsam telah menungunya dengan membawa surat dari Nyai Ontosoroh. Minke lalu membaca surat itu, berisi permohonan agar Minke datang ke Wonokromo, semenjak kepergiannya Annelies sering melamun, tak makan, pekerjaannya banyak yang terbengkalai, dan salah. Darsam masih menungguinya, menanti jawaban Minke. Saat itu juga Minke pergi ke Wonokromo bersama Darsam.

Kedatangan Minke membuat raut wajah Annelies berubah menjadi bahagia. Mulai hari itu juga Minke berpindah dari Pemondokan tinggal di rumah Nyai, Wonokromo. Kamar untuknya telah dipersiapkan, dan Annelies yang menata pakaian Minke. Kedatangan Minke yang sangat berarti bagi Annelies. Annelies sering bercerita pada Minke mengenai keluarganya, dan kehidupannya. Minke menjadi curhatan Annelies. Dari cerita Annelies mengenai mamanya yang dahulunya seorang Pribumi yang kemudian dijual oleh ayahnya kepada Tuan Mellema. Mamanya yang kini bernama Nyai Ontosoroh menjadi gundik Tuan Mellema, papanya sendiri. Dulu, Papa Annelies sangat baik pada mamanya, papanya menjadi guru untuk mamanya, mengajari mamanya berbagai hal hingga mama bisa sampai seperti ini. Papanya guru yang baik, pintar dan mama menjadi murid yang patuh. Mamanya hanya belajar dari papanya, dari buku secara otodidak. Semakin lama mamanya semakin mahir, dan mamanya mulai ikut dalam bisnis papanya, mengelola seluruh lahan. Tapi semenjak suatu kejadian, semua menjadi berubah. Kejadian dimana anak papanya Insyinyur Mellema datang. Dia datang menemui papanya, mengolok – ngolok papa, menuntut hak, juga menginjak harga diri mama. Semenjak itu Papa Annelies menjadi aneh, dia jarang pulang. Akhirnya, semua yang mengurus perusahaan adalah Nyai Ontosoroh dan Annelies. Annelies keluar dari sekolah sejak kelas 7. Sejak saat itu pula mamanya sangat benci kepada papanya. Dia tidak memaafkan apa yang telah diperbuatnya. Mamanya tak ingin Robert dan Annelies seperti papanya, Tuan Mellema. Dari cerita Annelies ini, Minke menjadi mengerti tentang keluarga ini.

Suatu ketika Robert Surhorf masuk kedalam kamar pemondokan Minke tanpa permisi, tanpa ketok pintu. Betapa kagetnya Minke melihat kelakuan temannya itu. Robert mendapati Minke sedang mengungkungkan gambar seorang yang di idamkannya, Rati Wilhelnima. Melihat Minke seperti itu, Robert menertawai Minke, mengejek, juga mencaci maki. Dia selalu tak senang melihat Minke bahagia. Baginya Pribumi adalah golongan dibawahnya. Tak terima dengan hinaan Robert, Minke kemudian melawan. Tapi Robert tak kehilangan akal, dia mengajak Minke pergi kerumah seorang gadis yang mirip dengan Ratu di fotonya, bahkan lebihcantik darinya. Awalnya Minke tak ingin tapi Robert terus mendesaknya dan mengatainya. Minke merasa tertantang, dan akhirnya menerima ajakan Robert Surhoof.
Robert telah mempersiapkan dokar, mereka menaiki dokar tersebut lalu berangkat kerumah seorang bidadari. Minke tahu niat Robert yang hanya ingin mempermalukannya, tapi Minke tak gentar. Ia bertekad tidak akan kalah dari Robert.
Mereka sampai ditempat tujuan, didaerah Wonokromo. Di sebuah rumah yang berloteng kayu, berpelataran luas dengan tulisan : boerderij buitenzorg. Sampai disana seorang pemuda Indo – Eropa telah menyambut. Teman Robert Surhorf. Dia hanya menyambut Surhorf dan tidak menyambut Minke, pandangannya begiti tajam pada Minke. Lalu juga ada seorang gadis berkulit putih, halus, berwajah Eropa, berambut dan bermata Pribumi, bernama Annelies Mellema. Minke begitu terpukau, dan inilah gadis yang dimaksud Surhorf. Minke melihat Robert Mellema dan Surhorf tenggelam dalam obrolannya mengenai bola, dan Minke tidak mengerti. Ia memutuskan untuk melihat – lihat perabot yang indah di rumah itu bersama Annelies. Di sela percakapan dan obrolan Minke, datang seorang wanita Pribumi, berkebaya putih dihiasi renda – renda mahal. Begitu mengagumkan bagi Minke. Dan juga lebih mengagetkan Minke karena wanita Pribumi itu berbahasa Belanda dengan baik. Annelies memperkenalkan Minke pada Mamanya yang akrab disapa dengan Nyai Ontosoroh. Setelah berkenalan Nyai Ontosoroh pergi untuk melanjutkan pekerjaannya.

Annelies mengajak Minke berjalan – jalan, Minke sempat terkejut melihat Annelies, gadis kecil yang pintar, gesit. Diusianya yang masih muda dia telah membantu Mamanya mengurus perusahaan besarnya. Perusahaan yang di urus oleh dua orang saja, Nyai Ontosoroh dan Annelies. Minke begitu terpesona dengan mereka, terutama pada Nyai Ontosoroh, seorang Pribumi yang tanpa mengenyam bangku pendidikan tapi pengetahuannya begitu luas, mengenai perdagangan, perusahaan, administrasi, perkebunan, peternakan, bahkan mungkin dalam segala hal dia tahu. Nyai Ontosoroh yang hanya belajar otodidak dari suaminya Tuan Mellema. Kedatangan Minke di tengah – tengah keluarga Mellema membawa kesenangan tersendiri, terutama bagi Nyai dan Annelies. Minke yang telah jatuh cinta pada Annelies, dan begitu pula Annelies, minke yang jatuh cinta pada keluarga itu, anggapan mengenai keluarga Mellema selama ini yang salah, berbeda dari pemikirannya dan juga yang dipergunjingkan oleh para manusia.

Semenjak berkunjung dari rumah Nyai Ontosoroh, kehidupan berjalan seperti sedia kala, hanya Minke sedikit berubah. Boerderij Buitenzorg di Wonokromo seperti memanggil Minke, wajah Annelies yang selalu membayanginya. Minke seperti terkena sihir atau guna – guna. Minke kemudian pergi kerumah kerabatnya, Jean Marrris, menceritakan apa yang terjadi padanya sehingga dia berubah menjadi linglung. Jean Marris berpendapat bahwa Minke sedang dalam kesulitan, dia sedang jatuh cinta. Minke berusaha menyangkal pendapat Jean Marrris. Jean Marris menganjurkan Minke untuk datang kembalai ke rumah Annelies untuk dapat mengetahui benar tidaknya pendapatnya itu.

Dari rumah Jean Marris, Minke pulang ke pemondokan. Darsam telah menunngunya dengan membawa surat dari Nyai Ontosoroh. Minke lalu membaca surat itu, berisi permohonan agar Minke datang ke Wonokromo, semenjak kepergiannya Annelies sering melamun, tak makan, pekerjaannya banyak yang terbengkalai, dan salah. Darsam masih menunnguinya, menanti jawaban Minke. Saat itu juga Minke pergi ke Wonokromo bersama Darsam.

Surat Nyai memang tidak berlebihan, Annelies kelihatan susut. Kedatangan Minke membuat raut wajah Annelies berubah menjadi bahagia. Mulai hari itu juga Minke berpindah dari Pemondokan tinggal di rumah Nyai, Wonokromo. Kamar untuknya telah dipersiapkan, dan Annelies yang menata pakaian Minke. Kedatangan Minke yang sangat berarti bagi Annelies. Annelies sering bercerita pada Minke mengenai keluarganya, dan kehidupannya. Minke menjadi curhatan Annelies. Dari cerita Annelies mengenai mamanya yang dahulunya seorang Pribumi yang kemudian dijual oleh ayahnya kepada Tuan Mellema. Mamanya yang kini bernama Nyai Ontosoroh menjadi gundik Tuan Mellema, papanya seniri. Papa Annelies yang sangat baik pada mamanya, papanya menjadi guru untuk mamanya, mengajari mamanya berbagai hal hingga mama bisa sampai seperti ini. Papanya guru yang baik, pintar dan mama menjadi murid yang patuh. Mamanya hanya belajar dari papanya, dari buku secara otodidak. Semakin lama mamanya semakin mahir, dan mamanya mulai ikut dalam bisnis papanya, mengelola seluruh lahan.

Cerita yang didengar Minke dari Annelies ini dijadikan bahan tulisannya, dengan sedikit gubahan yang bercampur dengan khayalannya. Minke mengirimkannya pada sebuah majalah, dan telah dimuat. Nyai datang pada Minke dan Annelies ketika mereka sedang mengobrol dengan selembar Koran di tangannya. Nyai menunjukkan sebuah cerpen yang dirasanya seperti menceritakan  kisah keluarganya. Nyai seperti mengenali tulisan tersebut, nama pena Max Tollenar. Seketika itu pula wajah Minke berubah pucat. Ia segera mengaku pada Nyai bahwa tulisan tersebut adalah tulisannya. Mama sudah menduganya, dan bangga pada Minke. Dari situ mama bercerita mengenai dunia cerita yang ia ketahui pada Minke.

            Minke dikejutkan saat suatu pagi ia dijemput agen polisi untuk dibawa ke kantor polisi, kemudian Minke naik kereta dan ternyata menuju ke gedung bupati Kota B. Sesampainya di gedung Kota B, didepan kursi Minke memberi hormat pada Kanjeng Bupati.  Kanjeng Bupati yang tak lain adalah ayahandanya sendiri. Minke kaget mengetahui bahwa yang dihadapannya adalah ayahnya sendiri. Ayahnya marah besar atas kelakuan yang diperbuat Minke, tidak pernah membalas surat darinya, dari Ibu, dan kakaknya. Juga karena kepindahan Minke dari Pemondokan ke Wonokromo. Ayahandanya  marah besar, Minke diberi hukuman pukulan berkali – kali. Pemaksaan kepulangan Minke dikarenakan akan adanya pesta pengangkatan ayahandanya sebagai bupati, dan Minke diberi mandat untuk menjadi penerjemah dalam bahasa Belanda. Setelah menghadap ayahandanya, Minke kemudian menemui Ibunya. Bundanya yang amat sayang padanya tak marah dan tak menyalahkan. Hanya memberi nasehat agar perbuatannya jangan di ulangi lagi. Selain itu Ibunya juga mengingatkan agar tidak lupa dengan dirinya, Pribumi darah Jawa, jangan sampai terlalu terlena dengan budaya Eropa.

            Selesai dengan urusan di kota B, Minke meminta izin pada ayah dan bundanya untuk kembali ke surabaya. Mereka tidak mengekang. Hari itu juga Minke kembali ke surabaya dengan kereta. Namun, karena suatu hal demi menjaga kebaikan semuanya, Minke tidak ke Wonokromo untuk menemui Annelies. Suatu hari Minke mendapat kabar bahwa Annelies sakit keras karena merindukan Minke. Nyai Ontosoroh memasrahkan Annelies pada Minke. Setelah kedatangan Minke, Annelies berangsur-angsur sembuh dan keadaannya mulai membaik bahkan Annelies pun kembali bahagia. Namun, berbagai masalah pun mulai datang dalam kehidupan Minke dan Annelies. Minke melanjutkan pendidikannya hingga lulus sebagai lulusan terbaik H.B.S, ia tak menyangka seorang pribumi bisa berada diatas Eropa. Dan di hari bahagia itu Minke dan Annelies mengumumkan pernikahannya. Pesta pernikahan besar-besaran digelar dengan tata cara Islam. 

Enam bulan telah terlewati. Keluarga itu lagi-lagi dihantam badai. Annelies dan Nyai menghadap ke pengadilan putih yang memutuskan semua hak-hak kuasa kekayaan Tuan Mellema jatuh pada anak kandungnya. Hal itu membuat keluarga itu sangat terkejut, juga surat yang menunjukkan bahwa Mauris Mellema menjadi wali bagi Annelies. Dan pengasuhnya ada di Belanda. Hal ini membuat Minke hampir pingsan dan panik. Sejak saat itupun kesehatan Annelies mulai terganggu, Annelies pun menjadi pemurung, tidak ada kebahagiaan yang dulu ia rasakan. Inilah perkara bangsa kulit putih yang menelan pribumi. Nyai dan Minke tak ingin menyerah dalam perkara ini. Mereka terus melawan. Pribumi harus mempertahankan hak-haknya tidak boleh ditindas Eropa saja. Semua hal dilakukan Minke untuk mempertahankan Annelies dengan cara menulis, berdemo bahkan hingga mengajak forum islam untuk membelanya. Hari terus berlalu, Minke dan Nyai mengalami kekalahan dalam mempertahankan Annelies, mereka sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi dalam melawan kasus ini. Sampailah pada saat-saat terakhir dimana Annelies akan pergi ke Belanda untuk menemui orangtua asuhnya, Annelies mempunyai permintaan terakhir kepada mamanya untuk mengasuh seorang adik perempuan yang mirip dengannya . Dengan senang hati, Minke dan Nyai menuruti permintaan Annelies.

            Perempuan Eropa mulai menarik Annelies, menuntunnya. Annelies tenggelam dalam pembisuan dan ketidakpedulian. Kehormatannya lenyap. Ia berjalan lambat – lambat meninggalkan kamar, menuruni tangga dalam tuntunan orang Eropa. Badannya nampak sangat rapuh dan lemah. Minke dan Nyai Ontosoroh lari memapahnya, tapi dihalau oleh orang Indo dan perempuan Eropa. Minke sudah tak dapat berbuat apa-apa lagi. Tiba – tiba ia mendengar tangisnya sendiri. Sebegini lemah kekuatan Pribumi dihadapan Eropa. Minke memanggil – manggil Annelies tapi Annelies tak menjawab, tak menoleh sedikitpun.

            Pintu depan dipersada dibuka. Sebuah kereta Gubermen telah menunggu dalam apitan Maresose berkuda. Sayup – sayup terdengar roda kereta menggiling kerikil, makin lama makin jauh, jauh, akhirnya tak terdengar lagi. Annelies dalam pelayaran ke negeri dimana Sri Ratu Wilhelmina bertahta. Minke berjanji akan menyusul Annelies, membawa Annelies kembali lagi. 

            Kisah Bumi Manusia ini bertemakan tentang perjuangan melawan penindasan kolonialisme dan adanya feminisme, dengan didasari oleh kekeluargaan, persahabatan, kemanusiaan, dan nilai religi juga budaya pada masyarakat di zamannya menjadi garis besar yang dapat  ditangkap  dalam roman ini. Selain itu, agar lebih menarik buku Bumi Manusia juga mengangkat  tema asmara atau kisah cinta antara laki-laki pribumi dengan gadis keturunan Indo-Belanda pada masa kedudukan pemerintah kolonial Belanda. Secara keseluruhan dalam novel ini menggunakan alur maju, namun di tengah-tengah cerita juga terdapat alur mundurnya, ketika Nyai Ontosoroh menceritkan asal-usul pernikahanya dengan Tuan Mallema pada Annelies. Alur cerita novel ini juga dapat dikatakan memiliki alur keras, karena akhir cerita tidak dapat ditebak. Pada awal dan tengah cerita, mungkin pembaca akan berpikir cerita akan berakhir bahagia dengan pernikahan Minke dan Annelies, tetapi cerita ini diakhiri dengan perpisahan Annelies dan Minke. Annelies harus pergi ke Belanda, sedangkan Minke tetap di Hindia sebagai seorang pribumi.

            Tokoh utama dalam novel ini ada tiga, yakni Minke, Annelies, dan Nyai Ontosoroh. Sehingga dalam analisis ini yang akan dibahas tokoh dan penokohanya adalah ketiga tokoh tersebut. Tokoh pertama yaitu Minke, Ia merupakan tokoh sentral atau tokoh utama dalam novel ini. Minke adalah orang pribumi keturunan priyayi dan bersekolah di H.B.S (Sekolah Belanda), orangnya cerdas, baik, dan penyayang serta perhatian. Hal tersebut terlihat ketika Annelies yang sakit, Ia rela datang dan juga merawatnya sampai pulih. Kemudian perhatianya juga kerap Ia tunjukan kepada May anak dari Jean Marais temanya. Tokoh yang akan dibahas selanjutnya yakni Annelies, ia adalah gadis keturunan Indo- Belanda yang kecantikanya melebihi Ratu Belanda. Namun disamping kecantikanya Ia anak yang manja.  Selain itu Ia  juga mempunyai mental yang kurang kuat, hal itu terlihat ketika Annelies yang ditinggalkan Minke sangat rindu hingga karena tak melihat Minke Ia jatuh sakit. Annelies juga termasuk gadis yang luar biasa, buktinya diusia yang belia Ia mampu mengendalikan perusahaan dengan tanganya sendiri.

Tokoh terakhir yang akan dibahas yakni Nyai Ontosoroh, seorang gundik yang bijaksana dan berwibawa, walaupun suaminya meninggalkan perusahaan, Ia dengan bantuan Annelies berani mengendaikan perusahaan. Selain itu walaupun tidak pernah menempuh pendidikan Ia dapat menulis, membaca dan juga hafal bahasa belanda serta sikapnya berwibawa tampa terlihat seperti seorang gundik. Ia juga termasuk ibu yang perhatian dan sayang terhadap anaknya, seperti ketika Annelies jatuh sakit Ia berusaha membujuk Minke agar mau datang ke rumahnya. Nyai Ontosoroh juga termasuk orang yang tegas dan kuat karena kehidupan masa lalunya Ia jadikan semangat untuk bangkit.

Latar yang akan dibahas meliputi latar tempat, waktu dan suasana. Yang pertama yakni latar tempat Latar tempat dalam cerita novel tersebut berada di Wonokromo, dekat Surabaya di Jawa Timur. Selain itu detail lokasi antara lain berada dirumah Nyai Ontosoroh atau perusahaanya yakni Boerderij Buitenzorg. Pemondokan Minke juga tergambar dalam cerita ini, yakni tampak ketika Minke baru pulang dari rumah atau perusahaan Nyai Ontosoroh. Selain itu juga terdapat beberapa latar tempat lainnya seperti bengkel perabot Jean Marais, Pendopo Kota B, Gedung Karasidenan, serta Rumah plesiran Babah Ah Tjong. Latar suasana dalam novel ini yang dominan adalah tegang dan genting, hal tersebut hampir terlihat dalam keseluruhan cerita, ketegangan sudah terihat pada awal pertemuan Minke dengan keluarga Mellema yang aneh, selain itu beberapa pemikiran Minke tentang keluarga Mallema membuat dirinya juga tersudut oleh perasaanya terhadap Annelies sehingga ia berada pada posisi genting.

Dalam Roman Bumi Manusia banyak terdapat nilai-nilai yang terkandung didalamnya, nilai-nilai tersebut terdiri atas nilai moral, nilai sosial, nilai pendidikan, nilai religius, nilai politik, dan nilai budaya yang semuanya saling berkaitan satu sama lain. Nilai moral yang terkandung antara lain menunjukan rasa hormat dengan cara merangkak, tidak menatap muka dan mengangkat muka pada lelaki yang tidak dikenal, memuliakan seorang perempuan, dan tidak diskriminasi terhadap perempuan. Selanjutnya nilai sosial yang terdapat dalam novel tersebut yaitu menyambut tamu dengan baik, lingkungan sosial dapat mempengaruhi cara berpikir seseorang. Nilai pendidikan yang terdapat dalam novel ini banyak antara lain, yaitu tanggung jawab, adil, tentang pentingnya sebuah penampilan, Indonesia yang bersifat kebudak-budakan dan semangat untuk belajar. Kemudian nilai religius yang tampak yaitu toleransi antar umat beragama. Nilai politik yang tampak dalam cerita tersebut seperti memanfaatkan harta warisan. Dan yang terakhir yaitu nilai budaya, yaitu budaya Eropa yang diagung-agungkan, sikap malu hanya milik orang Jawa dengan segala kerendahannya, perbedaan budaya pribumi dengan Eropa.

Buku Bumi Manusia ini cukup menarik untuk dibaca karena alur ceritanya yang tidak diduga-duga dan mengangkat konflik yang cukup menarik untuk dibahas seperti feminisme, diskriminasi, dan hak asasi pribumi, sehingga dalam alur ceritanya banyak terdapat nilai-nilai moral yang tersirat maupun tersurat yang dapat dipelajari dan dibahas lebih dalam. Latar tempat dan suasana bahkan dijelaskan dengan detail, tokoh dan penokohannya juga dijelaskan secara detail dan terperinci sehingga dapat mempermudah para pembaca dalam berimajinasi dan mengikuti alur cerita. Tokoh-tokoh yang diceritakan pun sesuai dengan zamannya, bagaimana kebiasaan, adat dan teknologi yang diceritakan pun juga sesuai pada zamannya sehingga pembaca juga lebih terasa seperti ikut kembali merasakan masa Kolonial Belanda. Buku Bumi Manusia juga mudah didapatkan di toko buku, apalagi buku ini akan segera difilmkan, maka kemungkinan banyak orang yang juga mencari buku ini, sehingga penerbit akan lebih meningkatkan percetakan buku Bumi Manusia ini.

Namun, terdapat beberapa kekurangan yang terdapat dalam Buku Bumi Manusia ini, seperti bahasanya yang terlalu puitis sehingga menyebabkan  beberapa pembaca kesulitan dalam memahami cerita. Buku ini juga tidak dilengkapi ilustrasi yang jelas, sehingga dapat membuat beberapa pembaca bosan dan lumayan sulit dalam mengimajinasikan cerita. Dalam buku ini juga terdapat beberapa istilah-istilah yang menggunakan bahasa Belanda, sehingga dapat membuat pembaca kebingungan memahami istilah tersebut. Dalam buku ini, juga terdapat beberapa kata-kata yang tidak baku seperti merubah yang seharusnya mengubah, juga terdapat beberapa kata-kata maupun kalimat yang kurang efektif seperti para pelajar-pelajar H.B.S yang benar seharusnya para pelajar H.B.S. Dalam dialognya juga sulit untuk membedakan antara tokoh satu dengan yang lain karena tidak diikuti dengan kalimat penjelas dan kalimat pengiring tokoh yang sedang berbicara dalam dialog. Maka, karena hal tersebut dalam membaca buku Bumi Manusia harus dipahami dan ditelaah lebih dalam lagi agar tidak terjadi multitafsir.


Diulas oleh:
Ananda Savira Tri Octaviani 
VIII.9/03

Tidak ada komentar:

Posting Komentar