Pendidikan Jasmani
Olahraga dan Kesehatan atau lebih sering disebut PJOK merupakan salah satu mata
pelajaran yang wajib diikuti oleh setiap peserta didik dari berbagai jenjang.
Mata pelajaran tersebut menjadi salah satu factor yang memengaruhi hasil
rata-rata nilai rapor peserta didik. Memang baik adanya mata pelajaran olahraga
tersebut dilakukan secara rutin . Hal itu dilakukan guna meningkatkan kebugaran jasmani serta
menambah wawasan siswa seputar kebugaran jasmani. Namun, apakah adil jika mata
pelajaran yang notabene-nya lebih mengandalkan kekuatan fisik tersebut menjadi
salah satu komponen penentu hasil nilai akhir?
Mata
pelajaran PJOK bukan sebuah mata pelajaran yang mudah dilakukan oleh beberapa
siswa. Pelajaran tersebut mewajibkan siswa memiliki kekuatan fisik yang mumpuni
untuk mendapatkan nilai yang memenuhi standar. Dari segi kesehatan, pelajaran
olahraga memang baik sebagai bentuk latihan fisik rutin para siswa. Namun tidak semua mudah untuk dilakukan.
Beberapa jenis olahraga, memaksa para siswa untuk menjadi ahli pada suatu
teknik tertentu yang tidak jarang memerlukan latihan yang keras. Misalnya saja
lari jarak jauh yang selalu menjadi hal yang diujikan pada mata pelajaran
olahraga. Lari jarak jauh membutuhkan
tenaga dan stamina yang cukup banyak. Lalu apa jadinya jika kita memaksa
seorang siswa dengan kondisi tubuh yang lemah untuk melakukan lari jarak jauh?
Coba pikirkan akibatnya! Tentu hal itu akan membuat siswa tersebut merasa
menderita, keadaannya memburuk bahkan terdapat kemungkinan kehilangan
kesadaran. Contoh lainnya adalah siswa yang dipaksakan untuk melakukan senam
lantai. Senam lantai membutuhkan kekuatan, kelenturan, dan ketahanan. Jika
seorang siswa tidak mempunyai ketiga
poin penting tersebut, dapat dibayangkan siswa itu akan mengalami trauma jika
ketika mencoba ia gagal. Padahal ia tetap diwajibkan menyelesaikan dan memenuhi
standar minimum.
Jika
dilihat dari segi nilai akademik siswa, pelajaran olahraga tentu menjadi salah
satu komponen yang memengaruhi. Pelajaran olahraga akan menjadi sebuah beban
bagi siswa yang tidak memiliki bakat di bidang itu namun dituntut untuk memnuhi
standar yang telah ditentukan. Apalagi bagi para siswa yang pandai secara
kognitif, namun tidak memiliki passion
dibidang olahraga, tentu hal itu akan sangat merugikan bagi mereka. Nilai yang
sudah mereka kumpulkan dari berbagai mata pelajaran lain dapat menjadi diluar
ekspetasi karena mereka tidak bisa memenuhi standar . Hal yang sama juga akan
terjadi pada siswa yang notabene sudah memiliki fisik lemah sejak lahir. Mereka
akan kesulitan untuk melakukan olahraga dan pada akhirnya juga akan menjadi
beban.
Pada
saat yang sama, sebagian siswa yang memang memiliki minat dan bakat dibidang
olahraga tidak keberatan dengan adanya nilai tersebut, atau malah sangat
memerlukannya. Hal itu dikarenakan mereka berpikir bahwa nilai adalah bukti
dari perkembangan kemampuan mereka. Mereka akan merasa sangat bebas dan senang
saat melaksanakan pelajaran olahraga. Pelajaran olahraga tidak akan menjadi
sebuah beban yang memberatkan bagi mereka.
Pelajaran
olahraga, akan menjadi sebuah pelajaran yang sangat menyenangkan dan bermanfaat
apabila dilaksanakan untuk menyehatkan dan meningkatkan kebugaran para siswa,
Namun hal tersebut akan menjadi sebuah beban jika terdapat standar minimum yang
harus diraih oleh setiap siswa. Apalagi pelajaran olahraga merupakan sebuah
mata pelajaran yang melibatkan fisik, bukan kognitif. Sehingga hal tersebut
lebih sulit untuk dipelajari. Seharusnya, untuk meminimalisir kemungkinan resiko
yang didapat siswa, standar yang dibuat harus dapat memperhatikan dan
mempertimbangkan kemungkinan siswa dengan kondisi lemah. Untuk beberapa jenis
olahraga yang dirasa sulit untuk dilakukan sebaiknya ditiadakan. Bila memang
ingin diterapkan, dapat diterapkan pada sekolah yang memang menekankan pada
kemampuan fisik, sebagai contoh Sekolah Atletik.
Oleh :
Atya Danastri Masantika VIII.9 / 05
Dianeera Mahadewi VIII.9 / 09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar